TEMPO.CO, Semarang - Sembilan pakar hukum dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia,yang menjadi majelis eksaminasi, menemukan ada kejanggalan dalam putusan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang menolak gugatan warga, tentang Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah, ihwal izin lingkungan pendirian pabrik semen di Rembang.
Kejanggalan itu ditemukan dalam sidang majelis eksaminasi selama sehari, Senin (6/7), di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. “Dua hal yang kami anggap keliru, yakni soal hitungan kadaluwarsa gugatan, dan aspek pokok perkara dimana amdal tidak layak tapi jadi pertimbangan,” kata Donny Danardono, Ketua Program Magister Lingkungan dan Perkotaan (PMLP) Unika Soegijapranata, fasilitator eksaminasi, Selasa (7/7).
Baca Juga:
Sebelumnya, warga Rembang yang didampingi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menggugat ke PTUN, agar izin lingkungan Nomor 660.1/17 tahun 2012, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah untuk kegiatan pertambangan PT Semen Indonesia, batal. Tapi, pada 16 April lalu, PTUN Semarang menolak gugatan tersebut.
Alasannya, gugatan telah melampaui waktu yang dipersyaratkan, yakni 90 hari. Ketua majelis hakim Husein Amin Effendi, dengan anggota Desy Wulandari dan Susilowati Siahaan, menyatakan berdasarkan saksi-saksi dan bukti-bukti, penggugat telah mengikuti sosialisasi sejak 2013. Tapi gugatan baru diajukan September 2014. Atas putusan itu, penggugat mengajukan banding.
Eksaminator menilai, hakim keliru menghitung penetapan kadaluwarsa gugatan karena warga penolak pabrik semen baru tahu ada surat izin pendirian pabrik semen itu pada 20 Juni 2014, setelah mendapat jawaban dari Badan Lingkungan Hidup. Eksaminator menemukan izin itu dikeluarkan pada 2012, dan hanya diberitahukan ke warga yang pro pabrik semen.
Padahal, regulasi lingkungan menyatakan, izin harus diumumkan dan memberikan kesempatan ke warga untuk mengkritisi.
Kejanggalan kedua, adalah hakim PTUN tidak pernah sampai pada pokok perkara tentang kekhawatiran dampak kerusakan lingkungan akibat pendirian pabrik semen di Rembang. Bahkan, kata Donny, ada saksi ahli karst, dari penggugat yang ditegur setiap kali akan memaparkan dampak lingkungan pabrik semen. “Ini tidak fair,” kata dia.
Majelis hakim eksaminasi terdiri dari 9 orang, yakni: Benny Riyanto, Ani Purwanti (Fakultas Hukum Universitas Diponegoro), V. Hadiyono (Fakultas Hukum Universitas Katolik Soegijapranata), Rikardo Simarmata (Fakultas Hukum UGM), Zainal Arifin Muchtar (Fakultas Hukum UGM), Herlambang P. Wiratraman (Fakultas Hukum Universitas Airlangga), Iman Prihandono (Fakultas Hukum Universitas Airlangga), Frangky Butar-Butar (Fakultas Hukum Universitas Airlangga), dan Myrna A Safitri (Fakultas Hukum Universitas Pancasila.
Majelis eksaminasi dari Fakultas Hukum UGM, Rikardo Simarmata menyatakan majelis mempersoalkan aspek formalitas yang dipersoalkan hakim PTUN. Sebab, PTUN memutuskan menolak gugatan dengan alasan dianggap kadaluwarsa, karena sosialisasi izin pendirian pabrik semen di Rembang sudah dilakukan sejak 2013. Sementara warga mengajukan gugatan pada Juni 2014.
Padahal, kata Rikardo, pengumuman terbitnya izin Gubernur Jawa Tengah tentang pendirian pabrik semen di Rembang itu hanya dilakukan satu arah. Sebab, izin diumumkan melalui situs internet Badan Lingkuhan Hidup Jawa Tengah, acara sosialisasi di kecamatan, dipasang di pusat informasi di Balai Desa, dan melalui pertunjukan wayang. “Karena informasi satu arah, maka warga tidak punya kesempatan dialog untuk menyampaikan keberatan,” kata dia.
Selain itu, kata Rikardo, saat pemerintah mengeluarkan izin pabrik semen, tidak otomatis warga bisa mengetahui ancaman dampak negatif akibat proyek tersebut. Menurut Rikardo, hakim PTUN keliru karena menyimpulkan warga sudah otomatis mengetahui dampak pabrik semen setelah menerima informasi tentang terbitnya izin pabrik semen.
Padahal, menurut Rikardo, untuk mengetahui telah merugikan kepentingannya maka penduduk tidak hanya cukup membaca SK izin pabrik semen. Disisi lain, akses informasi tentang amdal juga minim. “Kemampun penduduk bisa memahami amdal juga terbatas,” kata Rikardo.
Dalam eksaminasi ini ada satu anggota majelis yang tak mau menandatangani berita acara, yakni Benny Riyanto (Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro). “Benny menilai eksaminasi tidak obyektif,” kata Rikardo. Dari sembilan eksaminator seluruhnya menyampaikan anotasi. Seluruh hasil eksaminasi ini akan diterbitkan sebagai buku agar bisa dibaca publik. ROFIUDDIN