TEMPO.CO, Malang - Centre for Orangutan Protection (COP) membuka sekolah konservasi bagi para pemuda dan mahasiswa bernama COP School. Mereka menjalani pelatihan pendidikan konservasi selama enam bulan di kamp Ape Warrior, Sleman.
"Kami melatih mereka menjadi aktivis lingkungan," ujar Direktur Eksekutif COP Hardi Baktiantoro, Selasa, 7 Juli 2015. Setiap tahun dibuka satu kali pelatihan. Saat ini sekolah konservasi memasuki tahun kelima.
Setiap angkatan sebanyak 30 orang. Mereka menjalani pelatihan untuk mengenal orangutan, habitat, dan usaha pelestariannya. Mereka juga belajar dokumentasi, penelitian, dan komunikasi, termasuk memahami politik lingkungan dan konservasi.
Program tersebut merupakan beasiswa yang didanai donatur. Peserta cukup membayar separuhnya sebesar Rp 400 ribu. Setiap calon peserta menjalani seleksi untuk mengumpulkan data, melakukan penelitian di lapangan seperti ke pasar burung dan lembaga konservasi ex-situ (di luar habitat asli orangutan). "Membentuk generasi muda yang pro terhadap perlindungan satwa," katanya.
Bagi peserta yang berpendidikan kedokteran hewan akan menjalani pelatihan upaya perawatan satwa liar. Sedangkan mahasiswa biologi meneliti satwa dan mahasiswa komunikasi dilibatkan berkampanye perlindungan satwa. Mereka dilibatkan untuk membuat film dokumentasi dan foto satwa di alam lepas. "Materi ini tak pernah diterima dan diajarkan di kampus," ujarnya.
Pendaftaran dan informasi bisa dilihat di situs jejaring sosial maupun situs COP. Para peserta akan mendapat pengalaman yang berbeda dan tak pernah dirasakan sebelumnya. Setelah mengikuti pelatihan mereka bisa terlibat dalam kampanye atau kembali ke lingkungan kerja dan tetap mendukung usaha konservasi satwa.
Salah satu kampanye yang berhasil dilakukan alumnus COP School adalah memprotes acara musik di sebuah lembaga konservasi ex-situ di Batu yang disiarkan langsung di televisi. Mereka memprotes tayangan yang tak mendidik dan melanggar kesejahteraan satwa ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Selanjutnya, KPI meneruskan surat protes ke stasiun televisi dan Kementerian Kehutanan.
Kementerian Kehutanan kemudian melayangkan surat ke Perhimpunan Kebun Binatang Seluruh Indonesia yang melarang penggunaan satwa dalam tayangan televisi, terutama dengan menunjukkan dan mempertontonkan perilaku yang tak sesuai dengan perilaku alami di habitatnya.
EKO WIDIANTO