TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani bakal menggandeng lembaga non-pemerintah, media dan semua pemangku kepentingan.
"Karena kejahatan lingkungan hidup dan kehutanan adalah kejahatan yang luar biasa," kata Rasio Ridho dalam dialog dengan media di Jakarta, Senin, 6 Juli 2015.
Menurut Roy, panggilan akrab Rasio Ridho, prioritas ke depan adalah memberikan sanksi administrasi kepada perusahaan yang melakukan pelanggaran. Sejak awal tahun ini ada 10 perusahaan yang terkena sanksi ini mulai dari peringatan hingga pencabutan izin perusahaan.
"Untuk pidana agak sulit, karena menyangkut lembaga penegak hukum lainnya," katanya. Saat ini ada dua sengketa pidana yang digenjot.
Pertama, kejahatan pembakaran hutan dan lahan seluas 20.000 hektar di Ogan Komering Hulu, Sumatera Selatan dengan tergugat PT Bhumi Mekar Hijau.
Gugatan kerugian yang diajukan adalah Rp 2,6 triliun dan biaya pemulihan Rp 5,2 triliun. Gugatan kasus ini telah didaftarkan di Pengadilan Negeri Palembang pada 3 Februari 2015 dan persidangannya masih mendengarkan keterangan saksi fakta.
Kedua, kejahatan pembakaran hutan dan lahan seluas 1.000 hektar di Kabupaten Rokan Hilir, Riau dengan tergugat PT Jatim Jaya Perkasa. Gugatan sudah didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 23 Maret 2015.
Wartawan bertanya mengapa perusahaan yang dituntut ke pengadilan hanya perusahaan kecil, bukan konglomerat atau grup perusahaan besar ? "Keduanya adalah big snake, milik perusahaan besar," katanya tanpa menyebut siapa induk perusahaannya.
Pada tahun 2012, era pemerintahan Presiden Yudhoyono, penegakan hukum dilakukan lewat berbagai pendekatan hukum atau multidoor. Kesepakatan itu ditandatangani Menteri Keuangan, Agus D. W. Martowardojo; Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan; Menteri Lingkungan Hidup, Balthasar Kambuaya; Jaksa Agung, Basrief Arief; Kapolri, Timur Pradopo, dan Kepala PPATK, Muhammad Yusuf.
Pendekatan ini diinisiasi Kepala UKP4 dan Ketua Satgas REDD+ Kuntoro Mangkusubroto dan didukung KPK. Pada 2014, UKP4 dan BPREDD+ kemudian melakukan audit kepatuhan terkait kebakaran hutan dan lahan di Riau.
Tim Gabungan Nasional Audit Kepatuhan menemukan 17 perusahaan perkebunan dan perusahaan kehutanan, serta enam kabupaten/kota yang bertanggungjawab.
Hasil audit tersebut menyimpulkan bahwa 5 perusahaan perkebunan dianggap tidak patuh. Sementara itu, audit terhadap perusahan kehutanan mendapati 1 perusahaan sangat tidak patuh, 10 tidak patuh, dan 1 kurang patuh.
Audit terhadap 6 pemerintah daerah di Provinsi Riau juga menemukan bahwa 1 kabupaten saja yang dianggap patuh, 1 cukup patuh, dan sisanya dianggap kurang patuh.
Tim Audit Gabungan ini terdiri dari Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Pengelola REDD+, UKP4 serta para ahli yang dipimpin oleh ahli kebakaran hutan dan lahan dari Institut Pertanian Bogor, Bambang Hero Saharjo.
Rencananya mereka akan melakukan audit di Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Kalimantan Tengah. Nantinya, hasil audit akan menjadi bahan penuntutan oleh penyidik KLH dan Polri.
Namun pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak melanjutkan audit kepatuhan di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. Rekomendasi hasil audit di Riau juga tidak ditindaklanjuti.
Roy menjelaskan pihaknya melanjutkan hal itu dengan membentuk unit khusus. Begitu juga dengan pendekatan hukum multi door. "Kami sudah mengirim surat ke PPATK dan Dirjen Pajak," katanya berdalih.
UNTUNG WIDYANTO