TEMPO.CO, Ternate - Himpunan Mahasiswa Sula mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penanganan dugaan kasus korupsi pembangunan Masjid Raya Sula yang melibatkan Bupati Kepulauan Sula Ahmad Hidayat Mus. Hal itu harus dilakukan karena, sejak Bupati Sula ditetapkan tersangka oleh Kepolisian Daerah Maluku Utara lima tahun lalu, penanganan kasus korupsi tersebut tak kunjung tuntas.
Menurut Arman Soamole, Ketua Himpunan Mahasiswa dan Pemuda Sula, Kepolisian Daerah Maluku Utara seperti enggan menyidik kasus korupsi yang melibatkan Bupati Ahmad tersebut. Ini dibuktikan dengan berlarut-larutnya penuntasan kasus itu hingga empat kapolda berganti.
“Kasus ini sebenarnya dapat tuntas dengan cepat jika polisi serius. Tapi selama ini kami melihat kasus ini seperti sengaja dibiarkan hingga bertahun-tahun. Apalagi sudah empat kapolda berganti,” kata Arman kepada Tempo, Sabtu, 4 Juli 2015.
Arman mengatakan penanganan dugaan kasus korupsi pembangunan Masjid Raya Sula sebenarnya dinilai publik sebagai pertarungan harga diri Kepolisian Daerah Maluku Utara dalam menangani kasus korupsi di Provinsi Maluku Utara. Penuntasan kasus tersebut bisa berdampak terhadap penilaian positif publik terhadap kinerja polisi.
“Jadi, kalau polisi tidak memberikan kepastian hukum terkait dengan kasus Bupati Sula, kerja polisi di Maluku Utara dalam penanganan kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah bisa dibilang hanya gertak sambal,” ujar Arman. “Karena itu, pelibatan KPK dalam menangani kasus Bupati Sula menjadi penting dan mutlak dilakukan.”
Sejak Bupati Sula Ahmad Hidayat Mus ditetapkan tersangka, penyidikan dugaan korupsi Masjid Raya Sula terlihat mengalami pasang-surut. Empat kali jabatan Kapolda Maluku Utara berganti, kasus itu tak kunjung tuntas.
Pada masa Kapolda Brigadir Jenderal Affan Richwanto, proses penyidikan kasus itu sempat berjalan lancar. Polisi memeriksa sedikitnya lebih dari 20 saksi dan telah memanggil Bupati Ahmad untuk dimintai keterangan sebagai tersangka. Namun kasus ini kemudian kembali diam lantaran jabatan Kapolda Maluku Utara berpindah tangan ke Brigadir Jenderal Machfud Arifin.
Pada era Mahfud Arifin, pengusutan kasus itu dihentikan sementara. Alasannya, Bupati tengah mengikuti pertarungan pemilihan Gubernur Maluku Utara. Polisi khawatir proses penyidikannya bisa terseret dan terjebak kepentingan politik. Polisi pun berjanji akan menuntaskan proses penyidikan ini seusai pelaksanaan pemilihan Gubernur Maluku Utara.
Namun, meski pemilihan gubernur sudah selesai, penyelesaian kasus ini tetap tak jelas. Kapolda Mahfud Arifin yang menjabat empat bulan keburu dipindahkan menjadi Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan dan digantikan Brigadir Jenderal Sobri Effendi Surya.
Pada awal kepemimpinan Kapolda Sobri, penyelidikannya sempat kembali berjalan. Sedikitnya 15 saksi diperiksa dan Ahmad kembali dipanggil sebagai tersangka. Namun pelimpahan berkas perkara ke pihak kejaksaan dikembalikan lagi sehingga penuntasannya kembali tak jelas. Hingga masa tugas Kapolda Sobri berakhir dan digantikan Brigadir Jenderal Imam Budi Supeno, pengusutan kasus ini tak pernah kelar.
BUDHY NURGIANTO