TEMPO.CO , YOGYAKARTA – Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sultan Hamengku Buwono X mencabut permohonan pengajuan pengesahan nama barunya pasca Sabdaraja di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Padahal permohonan yang didaftarkan pada 19 Juni 2015 lalu akan diajukan ke meja persidangan pada 8 Juli 2015 mendatang. “Proses itu (pengajuan permohonan) enggak ada. Kan sudah saya tarik kemarin (2 Juli 2015) pagi,” kata Sultan saat ditemui di Kepatihan Yogyakarta, Jumat, 3 Juli 2015.
Hamengkubwono mengatakan, pertimbangannya karena persoalan perubahan nama dan gelar tersebut merupakan persoalan internal keraton. Sebelumnya, berdasarkan Sabdaraja yang dikeluarkan pada 30 April 2015 lalu, nama dan gelar berganti dari Sultan Hamengku Buwono X dengan gelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sadasa ing Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi Sultan Hamengku Bawono Kasepuluh dengan gelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati ing Ngalaga Langgenging Bawono Langgeng Langgening Tata Panatagama. “Ya, belum waktunya (disahkan di pengadilan). Kan internal. UU-nya (UU Keistimewaan) belum berubah,” kata Sultan.
Dia membantah akan mengusulkan revisi atau pun mengajukan judicial review (uji materiil) atas undang-undang tersebut. Alasan yang kembali ditegaskan karena itu persoalan internal keraton. Meskipun dalam Pasal 1 ayat 4 dan Pasal 18 ayat 1 huruf c UU Nomer 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY telah menyebutkan nama dan gelar Gubernur DIY sebagai raja yang bertahta adalah nama dan gelar yang lama. “Nama saya masih yang lama. Untuk keraton yang berubah. Itu urusannya lain,” kata Sultan menjelaskan sembari bergegas masuk ke kantornya.
Artinya, nama Sultan sebagai Gubernur DIY tetap Sultan Hamengku Buwono X. Sedangkan nama berdasar Sabdaraja berupa Sultan Hamengku Bawono Kasepuluh hanya berlaku sebagai raja.
Kepala Biro Hukum Pemerintah DIY Dewa Isnu Broto Imam Santoso menambahkan, selama ini adminsitrasi surat menyurat di pemerintahan masih menggunakan nama lama, yaitu Sultan Hamengku Buwono X. Dia merasa tidak terkendala dengan dua nama tersebut lantaran urusannya berbeda. “Urusan pemerintahan dan kasultanan tetap berbeda. Itu terpisah,” kata Dewa.
Sementara itu, adik Sultan, Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Yudhaningrat menilai, meskipun permohonan pengesahan nama dicabut tetap masih ada yang mengganjal. Lantaran muncul pertanyaan, apakah itu berarti Sabdaraja masih diberlakukan atau tidak? “Kalau internal keraton masih pakai Bawono, kami keberatan. Kalau Bawono sekedar nama alias, enggak masalah,” kata Yudhoningrat.
Berdasarkan paugeran keraton, nama Sultan adalah yang tertinggi sehingga tidak bisa diubah lagi. Berbeda apabila Sultan mengundurkan diri dan menjadi brahmana sehingga bisa berubah nama menjadi Kyai Ageng.
Hanya saja, saat Tempo mengkonfirmasi ihwal pencabutan permohonan tersebut, menurut juru bicara Pengadilan Negeri Yogyakarta, Ikhwan Hendrato belum menerima surat pencabutan itu.
“Hingga hari ini, kami belum menerimanya. Jadi sidang tetap dijadwalkan 8 Juli,” kata Ikhwan.
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Condrokirono selaku kuasa insidentil Sultan sebagai pemohon juga tidak bisa dihubungi. Wakil Ketua DPRD DIY dari Fraksi PAN Arif Noor Hartanto pun meminta agar hakim tidak menindaklanjuti permohonan pengesahan nama baru dengan mengembalikannya kepada internal keraton. Lantaran nanti akan menabrak dua aturan yang bertentangan dengan perubahan nama tersebut, yaitu paugeran keraton dan UU Keistimewaan. “Kalau dilanjutkan, hakim dikhawatirkan melampaui batas kewenangannya,” kata Arif.
PITO AGUSTIN RUDIANA