TEMPO.CO, Jakarta - Meski Belanda tidak mengenal migrasi pekerja rumah tangga perempuan, tapi selama beberapa dekade negeri itu menerima banyak migran. Terutama didominasi oleh para pendatang dari bekas koloninya, misalnya Suriname dan Indonesia, para pekerja migran asal Maroko dan Turki, juga pencari suaka asal Somalia, Iran, Irak, Afganistan, dan Suriah.
"Repatriasi warga Belanda-Indonesia dan sekelompok besar orang Maluku adalah kelompok imigran kolonial pertama usai Perang Dunia Kedua pada masa 50-an dan 60-an," kata Nico Schermers, Kepala Departemen Politik Kedutaan Besar Belanda di Jakarta, saat membuka diskusi publik Menuju Masyarakat ASEAN Pasca-2015 yang Berpihak pada Buruh Migran di Erasmus Huis, Jakarta, Senin, 29 Juni 2015.
Gelombang kedua terjadi pada 1975, pasca-kemerdekaan Suriname. Lalu disusul pada 1990-an, warga dari luar Belanda, Antilles dan Aruba, juga masuk ke Belanda untuk belajar atau mencari pekerjaan.
Pada 1960-an, pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan tenaga kerja di Belanda, menyebabkan aliran gelombang pertama pekerja migran asal Italia, Spanyol, Turki, dan Maroko. "Sebagian dari mereka bekerja dan tinggal di Belanda, lalu mengajak keluarga mereka," kata Schermers.
Sejak perluasan Uni Eropa, lebih banyak lagi pekerja dari Polandia, Bulgaria, dan Rumania masuk ke Belanda. "Terbukanya perbatasan menyebabkan tenaga kerja juga bebas bergerak," tambah dia. Tantangan serupa, menurutnya, dialami juga di ASEAN yang pekerja rumah tangga Indonesia mencari kerja di negara-negara ASEAN lainnya, demikian pula sebaliknya.
Kelompok migran ketiga terdiri atas para pencari suaka. Terutama dari Irak, Iran, Somalia, Sri Lanka, Afganistan, dan bekas Uni Soviet. Para pencari suaka tersebut masuk ke Belanda mulai 1990-an hingga sekarang. Schermers mengatakan, setelah sempat mereda, para pencari suaka kembali marak pada 2014 akibat konflik di Suriah dan Eritrea.
NATALIA SANTI