TEMPO.CO , Jakarta:Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang, Yenti Ganarsih, mengatakan pemerintah harus berhati-hati menerapkan tax amnesty/pengampunan pajak. Menurutnya, pemberlakukan tax amnesty kepada koruptor dan hasil tindak pidana pencucian uang berisiko mencemarkan nama baik negara.
"Kita (Indonesia) baru saja keluar dari daftar hitam The Finansial Action Task Force (FATF)," ujar Yenti kepada Tempo, Mingggu, 28 Juni 2015. FATF adalah badan standarisasi internasional yang konsern kepada aksi pencucian uang dan pembiayaan aksi terorisme.
Yenti mengatakan Indonesia pernah masuk daftar hitam tersebut pada tahun 2000-2006. Tax amnesty, ujarnya, bukan tidak mungkin kembali mengikiskan kepercayaan global terhadap pemberantasan pencucian uang.
"Jadi harus hati-hati, bisa-bisa Indonesia dimasukkan kembali dalam daftar hitam negara yang tidak koorporatif terhadap pencucian uang," ujar Yenti. Dirinya berharap pemerintah mematangkan konsep pemungutan pajak terhadap harta hasil korupsi dan tindak pidana non pajak lainnya.
Secara pribadi, Yenti mengatakan belum bisa memahami dan memiliki bayangan ihwal wacana tersebut. "Saya masih bingung, apakah ini tak bertolak belakang dengan semangat anti TPPU," kata dia.
Sebelumnya, Direktorat Jendral Pajak Kementerian Keuangan menyatakan sudah selesai merancang konsep Tax Amnesty secara internal. Pun, Ditjen Pajak hanya tinggal meminta persetujuan dan pendapat dari presiden dan para praktisi hukum untuk mematangkannya.
"Ini memang kontroversial," ujar Dirjen Pajak Sigit pekan lalu terhadap pengampunan harta koruptor dan tindak pidana TPPU di luar negeri. Menurut Sigit, potensi pajak yang terdapat di luar sangat besar, dan tidak ada cara efektif lain untuk menariknya selain menggunakan kebijakan tax amnesty.
ANDI RUSLI