TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo sudah menyatakan menolak revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada Selasa kemarin memutuskan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 itu masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional 2015.
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Enny Nurbaningsih mengatakan memang belum ada proses pembahasan revisi UU KPK. Karena itu, meski Presiden menolak, dia tidak bisa menarik revisi. "Kecuali sudah ada pembahasan revisi undang-undang, kemudian datangnya dari pemerintah, boleh ditarik," ujar Enny di Jakarta, Kamis, 25 Juni 2015.
Enny yang hadir dalam sidang paripurna itu juga agak kaget ketika Badan Legislasi DPR menyampaikan laporannya bahwa revisi UU KPK merupakan prakarsa pemerintah. "Di paripurna dibalik sama dia (DPR). Ini kan aneh. Ya sudah kami sampaikan ini tidak sesuai dengan hasil rapat kerja. Dikembalikan saja pada hasil kerja," kata dia.
Setelah paripurna, Enny langsung menyurati Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly bahwa BPHN tidak menyiapkan draf revisi. "Barangnya tidak ada. Kemarin menteri hanya menyatakan silakan diprioritaskan, tapi pemrakarsanya DPR," ujar anggota panitia seleksi calon pimpinan KPK itu.
Sidang paripurna DPR yang digelar Selasa, 23 Juni lalu memutuskan revisi UU KPK masuk dalam prioritas prolegnas 2015. Ada tiga substansi yang diwacanakan untuk direvisi dari UU KPK. Di antaranya tentang penyadapan dan penuntutan. KPK hanya diperbolehkan menyadap pihak-pihak yang sudah berurusan dengan hukum. Adapun soal penuntutan, KPK akan dibantu kejaksaan. KPK menganggap revisi tersebut justru akan memperlemah lembaga antirasuah karena mereduksi kewenangannya.
LINDA TRIANITA