TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso mengatakan Indonesia mendapat beberapa keuntungan setelah dinyatakan keluar dari daftar hitam pencucian uang dalam sidang yang digelar International Co-operation Review Group (ICRG) di Brisbane, Australia, 21-26 Juni 2015.
Menurut Agus, hasil sidang ICRG masih harus disahkan menjadi keputusan FATF (Financial Action Task Force on Money Laundering/Satuan Tugas Aksi Finansial) dalam sidang FATF hari ini, Kamis, 25 Juni 2015.
Bila hasil sidang ICRG bisa disahkan menjadi keputusan FATF, maka ada beberapa keuntungan bagi Indonesia. "Dengan keluar secara permanen dari blacklist/grey area FATF, maka paling tidak ada tiga dampak positif bagi Indonesia," ujar Agus melalui pesan singkat, Kamis, 25 Juni 2015.
Keuntungan pertama, kata Agus, Indonesia menjadi sejajar dengan negara-negara lain, khususnya selaku anggota G20. Kedua, Agus berharap status ini segera mendorong peningkatan rating investment grade Indonesia, sehingga berperan dalam mendorong investasi, transaksi perdagangan bilateral, dan resiprokal.
Adapun keuntungan ketiga, kata Agus, bisa memberi sinyal yang kuat tentang komitmen Indonesia terhadap upaya pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme, baik di yurisdiksi Indonesia maupun dalam rangka kerja sama regional dan internasional.
Agus menjelaskan dengan diakuinya keandalan Anti Money Laundering Regime dan Controlled Foreign Company (CFC) Regime oleh FATF, maka Indonesia bisa memproklamirkan kepada dunia tentang terjaganya kualitas integritas sistem keuangan. Dengan demikian, sistem keuangan nasional Indonesia tidak bisa dijadikan sarana maupun sasaran kejahatan pencucian uang.
Indonesia sebelumnya dimasukkan ke dalam blacklist FATF pada 2012 karena saat itu belum memiliki Undang-Undang Anti-pendanaan Terorisme. Undang-undang itu baru diterbitkan setahun kemudian, yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme.
Namun, berdasarkan penilaian FATF, undang-undang itu masih memiliki kelemahan strategis dan harus disempurnakan karena dianggap tidak memenuhi kaidah standar FATF.
Agus mengakui bukanlah proses yang mudah menyatukan pandangan antar institusi dalam membuat pedoman untuk mengimplementasikan undang-undang tersebut. Akhirnya pada 11 Februari 2015, berhasil ditandatangani surat keputuan bersama (SKB) antara Menteri Luar Negeri, Kepala Polri, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris, Kepala PPATK, dan Ketua Mahkamah Agung.
Koordinasi antar lembaga itu menghasilkan mekanisme kerja yang dituangkan melalui SKB. Dengan SKB itu, proses pembekuan aset terduga teroris jaringan Al-Qaeda dan Taliban, sebagaimana tercantum dalam daftar Dewan Keamanan PBB Nomor 1267 (UNSC 1267 List), dapat dilakukan dengan efektif. Selain itu, prosedurnya juga dianggap memenuhi standar FATF.
Atas kemajuan itulah, kata Agus, Indonesia pada pada sidang ICRG/FATF di Paris, Februari 2015, disepakati keluar sementara dari blacklist FATF atau berstatus grey area. FATF juga memutuskan mengevaluasi Indonesia dengan mengirimkan Onsite Visit Team pada Mei 2015.
Pada sidang ICRG, Senin, 22 Juni 2015, Onsite Visit Team FATF yang terdiri atas Filipina (ketua), India, Australia, Kanada, Amerika Serikat, dan perwakilan dari Sekretariat Asia Pacific Group on AML/CFT (APG) melaporkan kepada sidang ICRG tentang hasil evaluasi.
Mereka mempertimbangkan kemajuan signifikan yang dicapai Indonesia. Akhirnya dalam sidang ICRG itu sebanyak 13 negara anggota menyampaikan pandangan untuk mendukung Indonesia keluar secara permanen dari blacklist/grey area FATF dan tidak diperlukan proses monitoring ICRG.
LINDA TRIANITA