TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PATK) Agus Satoso mengatakan Indonesia akhirnya keluar dari daftar hitam pencucian uang. Menurut Agus, hal itu sesuai keputusan yang disepakati dalam sidang lanjutan ICRG (International Country Risk Guide/Panduan Risiko Negara Internasional) di Brisbane, Australia, Senin, 22 Juni 2015.
"Alhamdulillah, di Sidang ICRG hari ini di Brisbane, RI disepakati keluar permanen dari blacklist," kata Agus melalui pesan pendek, Senin, 22 Juni 2015.
Agus menjelaskan Indonesia didukung 13 negara anggota FATF (Financial Action Task Force on Money Laundering/Satuan Tugas Aksi Finansial) yang sudah melakukan peninjauan pada 11-12 Mei lalu. Tim yang meninjau adalah Amerika Serikat, Filipina, Korea Selatan, India, Selandia Baru, Australia, serta perwakilan dari Asia-Pasific on Money Laundering.
Penetapan secara resmi Indonesia keluar dari daftar hitam pencucian uang, kata Agus, akan diputuskan di FATF Plenary. Delegasi Indonesia dalam sidang tersebut dipimpin Direktur Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri Hasan Kleib.
Agus mengatakan Indonesia butuh perjuangan panjang agar bisa keluar dari daftar hitam pencucian uang. Antara lain, kata dia, pemerintah sudah membekukan aset milik 17 orang dan 3 organisasi terduga teroris yang namanya masuk dalam resolusi nomor 1267 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Aset tersebut diduga terkait dengan jaringan teroris Al-Qaidah dan Taliban.
Sebelum sidang di Brisbane, Indonesia masih dalam kategori daftar abu-abu pendanaan teroris. Pencapaian ini didapat saat PPATK bersama perwakilan dari Kementerian Luar Negeri mengikuti sidang FATF di Paris, Prancis, pada 21-26 Februari lalu.
Saat itu, kata Agus, anggota FATF mengeluarkan Indonesia dari daftar hitam ke daftar abu-abu anti-pendanaan teroris karena mengajukan surat keputusan bersama tentang penanganan teroris. Surat keputusan yang diterbitkan pada 11 Februari 2015 itu untuk menyempurnakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang anti-pendanaan terorisme.
Agus mengakui sudah pernah mengajukan undang-undang tersebut saat sidang FATF sebelumnya, tapi dinilai tidak cukup karena masih ada kelemahan. "Dianggap kurang proper-lah," ujarnya.
Agus mengatakan banyak keuntungan bila Indonesia bisa keluar dari daftar hitam anti-pendanaan terorisme. Di antaranya, dunia semakin percaya sehingga memudahkan Indonesia dalam bidang perdagangan maupun kerja sama yang lain. "Kita hidup di masyarakat internasional. Jangan sampai tidak melakukan komitmen bersama," ucapnya.
LINDA TRIANITA