TEMPO.CO, Jakarta - 21 Juni 1994 menjadi hari yang kelam buat semua awak Tempo, insan media, dan rakyat Indonesia. Hari itu, Kementerian Penerangan yang dipimpin Harmoko mengeluarkan surat keputusan pencabutan surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) majalah Tempo. Dengan dicabutnya SIUPP itu, Tempo secara otomatis harus lenyap dari muka bumi (dibredel). Bukan cuma Tempo, dua media lain, yakni Detik dan Editor, juga mengalami nasib serupa.
Pembredelan ini terjadi karena Tempo menerbitkan berita dugaan korupsi dalam pembelian 39 kapal perang eks Jerman Timur yang diprakarsai Menteri Riset dan Teknologi pada waktu itu, B.J. Habibie. Seperti ditulis profesor dari George Washington University, Janet Steele, dalam bukunya Wars Within, kepanikan dan keriuhan langsung terjadi di gedung Tempo yang saat itu beralamat di Jalan HR Rasuna Said, di samping kantor Kedutaan Besar Australia.
Pendiri Tempo, Goenawan Mohamad, yang sedang berada di Bandar Udara Soekarno-Hatta untuk terbang menuju Jawa Tengah, langsung membatalkan perjalanannya dan kembali ke kantor Tempo. Sementara itu, Pelaksana Pemimpin Redaksi Tempo ketika itu, Fikri Jufri, menggelar konferensi pers dadakan. Di depan para reporter televisi, Fikri berkata, "Pembredelan ini adalah pelanggaran atas kebebasan pers." Ucapan dia disambut sorakan para karyawan.
Buat sebagian orang, seperti pendiri Sinar Harapan, Aristides Katopo, dan mantan Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya, Atmakusumah, pembredelan ini menyedihkan. Musababnya, "Indonesia kembali kehilangan salah satu sumber informasi independennya," tulis Janet di bukunya. Sinar Harapan sendiri dibredel pada 1986. Sedangkan Harian Indonesia Raya ditutup paksa oleh pemerintah pada 1974. Bahkan Atmakusumah sempat dilarang bekerja di media.
Namun, di sisi lain, pencabutan SIUPP Tempo membangkitkan amarah para wartawan muda pada masa itu. Keesokan harinya, gelombang protes bermunculan. Di Yogyakarta, mahasiswa melakukan aksi membungkus kantor biro Tempo di sana dengan kertas putih. Kepala Biro Tempo di Yogyakarta, Rustam F. Mandayun, mengenang, gara-gara aksi para mahasiswa itu, semua jendela kantor tertutup rapat. "Hawa di dalam kantor menjadi sangat panas."
Sementara itu, di Jakarta, ratusan aktivis dan wartawan melakukan long march ke kantor Kementerian Penerangan di Jalan Medan Merdeka Barat. Mereka mendesak Harmoko membatalkan pencabutan SIUPP Tempo, Detik, dan Editor. Aksi ini terus berjalan hingga beberapa hari setelahnya karena pemerintah enggan menuruti permintaan pendemo. Pada 27 Juni 1994, terjadi kerusuhan saat polisi membubarkan paksa demonstran. Puluhan orang terluka dalam insiden tersebut.
Namun pemerintah tetap bergeming. Tindakan represif justru semakin gencar dilakukan. Bahkan para wartawan yang ikut memprotes pembredelan ini diancam tak diakui oleh Persatuan Wartawan Indonesia. Waktu itu wartawan di Indonesia memang wajib bergabung dengan satu-satunya organisasi profesi jurnalistik tersebut. Hal inilah yang kemudian memicu lahirnya organisasi profesi jurnalistik lainnya, Aliansi Jurnalis Independen.
PRAGA UTAMA