TEMPO.CO, Jakarta - Fraksi Partai Nasional Demokrat menilai sikap parlemen yang terus memaksakan golnya dana aspirasi akan berpotensi menyandera anggaran pemerintah. Hal ini akan terjadi saat undang-undang tentang anggaran pendapatan belanja negara yang berisi dana aspirasi diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
"Dana ini banyak melanggar aturan. Kalau sampai ke MK, pemerintah tak akan bisa menjalankan programnya karena anggaran tertahan," kata Wakil Ketua Fraksi Partai NasDem Johnny G. Plate, Sabtu, 20 Juni 2015.
Ia menyatakan dana aspirasi jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Tata Kelola Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam kedua aturan tersebut, tata kelola keuangan murni dipegang eksekutif dan dilakukan secara berjenjang dari desa hingga pusat.
NasDem juga menolak Pasal 78 dan Pasal 80 ayat J Undang-Undang MD3 sebagai dasar aturan dana aspirasi. Dalam kedua pasal tersebut, menurut dia, tak ada yang menginstruksikan DPR dapat memasukkan alokasi budget melalui paripurna. Pelanggaran ini berpotensi memunculkan pengajuan gugatan ke MK atas APBN yang disahkan.
Fraksi Partai Golkar jadi salah pendukung kuat lolosnya dana aspirasi yang diklaim dengan sebutan dana perkuatan perwakilan di daerah pemilihan. Anggota Fraksi Golkar Misbakhun mengklaim parlemen berhak untuk mengajukan usulan kepada pemerintah dalam pembahasan anggaran.
Menurut dia, parlemen juga telah membuat panduan bagi setiap fraksi untuk meminta anggota merancang program dari dana tersebut. Ia berkukuh dana tersebut tak dipegang anggota parlemen secara tunai. Program tersebut diajukan parlemen kepada pemerintah dalam alokasi dana pembangunan daerah. Meski demikian, ia membantah hal tersebut serupa atau membonceng dana alokasi khusus.
"Tak ada niat sama sekali kami sabotase pemerintah. Ini adalah perkuatan peran keterwakilan daerah. Faktanya selama ini pembangunan memang tak merata," kata Misbhakun.
Pengamat hukum dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Rahmat Bagja, mendukung Misbakhun. Dia menilai dasar dana aspirasi adalah Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945. Menurut dia, frasa membahas bersama eksekutif dalam anggaran tak hanya berarti sekadar menyetujui atau menolak.
"Parlemen bisa mengusulkan juga hingga detail,"kata Rahmat.
Selain itu, menurut dia, MK tak akan mungkin menahan APBN hanya karena masuknya dana aspirasi. Berdasarkan pengalaman, MK tak akan mengambil risiko dengan menahan seluruh anggaran. Yang ditahan hanya anggaran yang dinilai bermasalah dan tak berpengaruh dengan pembangunan lainnya.
"Siapa yang bisa menjamin MK tak akan menahan seluruh anggaran. Itu tergantung gugatan yang diajukan," kata Jonny, menyanggah Rahmat.
Sikap Nasdem mendapat dukungan dari Koalisi Pengawal Anggaran yang kukuh menilai parlemen tak memiliki hak untuk mengelola anggaran. Juru bicara koalisi, Roy Salam, mengibaratkan dana aspirasi seperti penumpang gelap yang harus dibawa pemerintah sebagai pengemudi dalam bus anggaran.
Koalisi menilai parlemen sama sekali tak siap untuk menjalankan proses dana aspirasi yang sampai sekarang terus berkutat soal mekanisme. Menurut Roy, dana tersebut akan menciptakan modus korupsi baru yang menjadikan tiap anggota parlemen sebagai broker ke pemerintah daerah untuk mengolkan sebuah program atau pembangunan.
Menurut Roy, hingga saat ini parlemen sendiri tak pernah mampu memberikan laporan reses yang transparan dan bisa dipertanggungjawabkan. Selain melanggar undang-undang, dana aspirasi justru menjadi pintu baru korupsi meski DPR tak memegang uangnya secara tunai.
Johnny juga menyatakan kekuatan belanja negara pada tahun mendatang akan menurun karena rendahnya penerimaan pajak dan pertumbuhan ekonomi yang merosot. Dalam situasi ini, pemerintah telah menyudutkan kebutuhan anggaran dengan skala prioritas. Masuknya dana aspirasi akan mengacaukan anggaran yang telah diprioritaskan.
"Bisa kacau sebab mereka akan memasukkan dana yang sebenarnya pemerintah telah kurangi," kata Johnny.
FRANSISCO ROSARIANS