TEMPO.CO, Jakarta - Kepulauan Rupat menjadi jalur masuk narkotik paling rawan di Selat Malaka. Pulau di Kabupaten Bengkalis, Riau, itu hanya berjarak sekitar 36 mil dari Negeri Sembilan dan Melaka, Malaysia. Pulau ini memiliki puluhan pelabuhan tradisional yang tidak berpenjaga.
Berdasarkan hasil investigasi Tempo yang terbit di majalah Tempo pekan ini, Pulau Rupat kerap dimanfaatkan para penyelundup untuk memasukkan narkotik dari Malaysia ke Indonesia. Upah ngendong--istilah menjadi kurir sabu di daerah itu--Rp 25 juta per kilogram. Sabu yang lewat pulau ini dikirim ke Dumai untuk kemudian diteruskan ke Pekanbaru atau Jakarta.
Namun karena lemahnya penjagaan, tidak pernah ada penyelundup yang tertangkap di Rupat. “Biasanya mereka baru tertangkap setelah tiba di Dumai, Pekanbaru, bahkan Jakarta,” ujar Kepala Unit Reserse Kriminal Kepolisian Sektor Rupat Utara Brigadir Kepala Asben Hutapea kepada Tempo, dua pekan lalu.
Misalnya kasus bandar asal Malaysia, Ng Hai Kuan, yang tertangkap di Pekanbaru saat membawa 46,5 kilogram sabu awal April lalu. Begitu pula penangkapan pembawa 12,2 kilogram sabu di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, serta 30 kilogram sabu di Rokan Hilir, Riau, pada awal dan akhir Mei lalu.
Jumlah petugas keamanan di sana memang terbatas. Di Kecamatan Rupat Utara, misalnya, yang membawahi delapan desa, hanya dijaga 17 polisi. “Itu sudah termasuk saya,” kata Kepala Polsek Rupat Utara Ajun Komisaris Bustanuddin.
Kondisi semakin parah ketika tidak semua petugas kepolisian bersih dari narkotik. Pertengahan Desember tahun lalu, dua anggota Polsek Rupat Utara ditangkap karena membawa sabu ke Pekanbaru. "Mereka minta izin ke saya untuk mengurus kenaikan pangkat ke Bengkalis, ternyata ngendong sabu ke Pekanbaru."
Badan Narkotika Nasional (BNN) memperkirakan ribuan kilo sabu mengalir ke Indonesia melalui pelabuhan-pelabuhan di Pulau Rupat dan Dumai. “Kami prediksi rata-rata 20 kilogram sabu per hari lewat di sana,” ujar juru bicara BNN, Slamet Pribadi.
TIM INVESTIGASI TEMPO