TEMPO.CO, Jakarta - Pemohon perkara nomor 68/PUU-XII/2014 mengklaim Mahkamah Konstitusi tak menutup kemungkinan pasangan beda agama untuk melangsungkan perkawinan dan catatan sipil. Hal ini disampaikan meski MK menolak seluruh gugatan terhadap Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
"Karena soal konstitusi berarti situasinya sekarang pasangan beda agama kembali harus berjuang seperti sebelum gugatan ini ada," kata Damian Agata Yuvens di Mahkamah Konstitusi, Kamis, 18 Juni 2015.
Damian menyatakan pasangan beda agama hingga saat ini masih harus sibuk mencari tempat atau kantor catatan sipil yang bersedia memasukkan perkawinannya. Ia berdalih tujuan gugatan ini bukan untuk memperbolehkan atau melarang, tapi untuk memberikan hak yang sama kepada pasangan beda agama.
Pemohon lain, Rangga Sujud Widigda, mengatakan selama ini ada catatan sipil yang mau mencatat, tapi ada juga yang tidak. Ini berarti belum ada kepastian hukum.
Damian dan Rangga menyatakan akan mempelajari lebih detail putusan MK untuk mempertimbangkan langkah selanjutnya. Menurut Damian, putusan MK hanya melihat soal kewenangan negara yang berhak membatasi warganya tanpa melihat kenyataan sosial yang terjadi.
Meski demikian, Damian dan Rangga sepakat dengan hakim Maria Farida Indrati yang menilai UU Perkawinan sudah saatnya dievaluasi atau direvisi. Pasalnya, sejumlah ketentuan di dalamnya sangat berpotensi menimbulkan masalah saat ini. "Salah satu opsi kami (mengajukan ke parlemen)," ujar Rangga.
Majelis MK menolak seluruh gugatan dengan dalih negara berwenang mengeluarkan aturan sesuai dengan nilai agama, moral, keamanan, dan ketertiban umum. Meski perkawinan adalah hak setiap orang, pelaksanaannya tetap harus memperhatikan hak dari warga yang lain.
Perkawinan beda agama juga dinilai tak memberikan kepastian hukum, termasuk soal nasib keturunan. Negara dengan aturan pembatasannya justru dinilai memberikan jaminan kebahagiaan dalam pelaksanaan perkawinan.
Seperti diberitakan sebelumnya, Rangga bersama tiga rekannya, Damian Agata Yuvens, Varita, dan Megawati Simarmata, mengajukan uji materi Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sebagai upaya penyelarasan penafsiran dalam pasal untuk para calon mempelai yang hendak melangsungkan perkawinan.
FRANSISCO ROSARIANS