TEMPO.CO, Jakarta - Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terbelah saat menyikapi rencana revisi Undang-Undang KPK. Mayoritas di antara mereka menolak rencana tersebut.
“Saya tidak mendukung. Karena menurut saya agenda itu belum perlu,” ujar pelaksana tugas (Plt) Pimpinan KPK, Johan Budi S.P., lewat pesan singkatnya, Rabu, 17 Juni 2015.
Revisi UU KPK diagendakan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam Program Legislasi Nasional 2015. Ketua plt Pimpinan KPK, Taufiequrrahman Ruki, mendukung rencana itu. Ia bahkan mengusulkan revisi itu bisa membuat aturan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Adapun Plt Pimpinan KPK, Indriarto Seno Aji, menyarankan penundaan.
Meski belum dibahas, sejumlah anggota parlemen mulai mewacanakan pembatasan mekanisme penyadapan. Sebagian di antara mereka juga mengusulkan agar fungsi penuntutan dikembalikan kepada kejaksaan. Ada pula yang mendukung putusan praperadilan kasus Hadi Poernomo yang melarang kewenangan KPK mengangkat penyidik.
Menurut Johan, gagasan yang dilontarkan sejumlah anggota Dewan merupakan langkah mundur. “Jika revisi UU KPK dimaksudkan untuk menghilangkan kewenangan penuntutan dan juga mereduksi kewenangan penyadapan, maka persepsi publik akan adanya upaya sistematis melemahkan KPK benar adanya,” katanya.
Johan berharap Presiden Joko Widodo berkenan meninjau kembali rencana tersebut. “Saya yakin Presiden Jokowi tidak akan menciderai komitmen beliau untuk memperkuat KPK. Karena itu saya yakin pemerintah Jokowi tak akan menghilangkah kewenangan penuntutan dan mereduksi kewenangan penyadapan KPK,” katanya.
RIKY FERDIANTO