TEMPO.CO , Jakarta: Jayapura - Menjelang bulan puasa, komunitas muslim Papua yang bermukim di Kampung Mateor, Angkasa, Distrik Jayapura Utara, Kota Jayapura, Papua selalu mengawalinya dengan acara Bakar Batu. Ini merupakan kegiatan memasak secara tradisional yang dilakukan suku-suku asli Papua yang berasal dari wilayah pegunungan tengah Papua.
Menurut Ketua Komunitas Muslim Papua di Kota Jayapura Hadiman Asso, 37 tahun, ritual Bakar Batu ini dilakukan untuk bersilaturahmi sebelum berpuasa 30 hari lamanya. "Di saat itu, kami umat muslim Papua bisa saling memaafkan dan memberikan ucapan selamat beribadah puasa antarkerabat dan keluarga. Sebab usai puasa, bisanya hanya saling memberikan ucapan selamat menjalankan ibadah puasa," katanya di sela-sela acara Bakar Batu, Rabu, 17 Juni 2015.
Acara ritual Bakar Batu ini merupakan cara memasak makanan dengan menggunakan batu. Sebelumnya, batu yang digunakan dipanasi lebih dulu dengan api, lalu digunakan sebagai pemanas bahan makanan yang akan dimasak. Sebelum makanan dimasak dengan batu, dibuat lubang kira-kira berdiameter setengah meter dengan kedalaman 50 sentimeter.
"Nah, di dalam lubang itu, urutan pertama ditaruh ilalang yang diatasnya diletakkan batu yang telah dipanasi. Ilalang itu berfungsi sebagai alas batu yang panas, di atas batu ini diletakkan bahan makanan yang akan dimasak, seperti sayur, ubi-ubian, atau daging maupun ayam yang sudah dibersihkan. Lalu bahan makanan ditutup lagi dengan daun-daunan atau ilalang kembali. Ini agar uap panas dari batu tak keluar. Lamanya memasak dengan bakar batu berkisar dua hingga tiga jam," kata Hadiman.
Menurut Hadiman, muslim asli Papua yang ada di wilayahnya ini sudah sejak tahun 1981 lalu. Komunitas muslim asli Papua ini kebanyakan dari Kampung Walesi di Kabupaten Jayawijaya yang hijrah ke Kota Jayapura. Rata-rata datang ke Kota Jayapura untuk bersekolah dan bekerja, baik sebagai pegawai negeri sipil maupun swasta. Juga ada yang melakukan aktifitas berkebun dan berdagang.
"Saat ini jumlah muslim Papua di Kota Jayapura berjumlah sekitar 600 orang atau sekitar 84 kepala keluarga. Namun yang menetap di Kampung Mateor ini ada sekitar 64 orang atau sekitar 24 kepala keluarga. Saat ini kami adalah keturunan generasi ketiga. Firdaus Asso, merupakan pemuda asal Kampung Walesi yang pertama hijrah ke Kota Jayapura. Untuk menghormatinya, kami memberikan nama mushola yang ada disini sesuai namanya," katanya.
Menurut Hadiman, setiap harinya, usai sholat magrib anak-anak di Kampung Meteor ini juga selalu melakukan kegiatan mengaji hingga sebelum sholat isa. "Ada sekitar 20-an anak yang rajin mengaji di mushola ini," katanya. Mushola berukuran 15 x 20 meter ini sudah terlihat cukup modern. Tempat inilah yang menjadi salah satu tempat komunitas muslim asli Papua yang berada di Kota Jayapura untuk berkumpul.
Ketua Nahdatul Ulama Kota Jayapura, Haji Kahar Yelipele mengatakan, ritual Bakar Batu yang dilakukan ini telah ada sejak turun menurun di pegunungan tengah Papua. "Ini tradisi yang dilakukan orang-orang tua kami dulu. Acara Bakar Batu jaman dulu biasanya berisi dengan daging babi. Tapi karena kami pemeluk Islam, daging babi kami ganti dengan ayam atau daging kambing maupun daging sapi. Ini yang paling cocok untuk bakar batu bagi kami sebagai umat muslim di Papua," katanya, Rabu, 17 Juni 2015.
Kahar yang juga merupakan salah satu putra asli Papua ini mengatakan, acara Bakar Batu tak hanya dilakukan saat menjelang Bulan Ramadhan, tapi juga tiap 1 syawal. Acara Bakar Batu ini biasanya digelar di sekitar halaman musholah Firdaus Asso. Selain itu, pihaknya mengaku juga biasa mengundang umat nasrani asal pegunungan tengah Papua. "Perkembangan umat muslim asal pegunungan tengah di Papua secara keseluruhan cukup besar, seperti di Wamenan, Merauke, Asmat, Sorong, jumlahnya cukup besar," jelasnya.
CUNDING LEVI