TEMPO.CO, Jakarta - Manajemen PT Subur Abadi Wana Agung (SAWA) dan PT Hamparan Perkasa Mandiri (HPM) membantah telah menduduki tanah adat Dayak Modang di Kecamatan Busang, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur, sebagaimana sebelumnya diberitakan Tempo pada 26 Mei 2015 (Perusahaan Sawit Duduki Tanah Adat Dayak Modang).
Dalam surat bantahan yang diterima Tempo pada Senin, 15 Juni 2015, Direktur Utama Budiarto Abadi menyatakan bahwa PT SAWA dan PT HPM tidak pernah menduduki tanah adat itu. Sebab, tanah adat tersebut berada di luar kawasan perkebunan yang dikelola dua perusahaan sawit ini.
Tanah adat itu, kata Budiarto, adalah hutan desa yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor SK.184/Menhut-II/2012 Tanggal 18 April 2012. Luas hutan Desa Long Bentuq tersebut adalah 880 hektare—bukan 850 hektare seperti yang tertulis pada berita sebelumnya—dan dikeluarkan izinnya tahun 2014.
"Setelah dipetakan, hutan desa tersebut letaknya berada di luar hak guna usaha (HGU) yang dimiliki PT SAWA dan PT HPM," tulis Budiarto. "Kedua perusahaan tidak pernah melakukan kegiatan perkebunan pada lokasi dimaksud."
Menurut Budiarto, PT SAWA dan PT HPM saat melakukan kegiatan perkebunan kelapa sawit senantiasa mematuhi dan mendasarkan pada izin-izin yang dikeluarkan Bupati Kutai Timur, yaitu izin usaha perkebunan, izin pembukaan lahan dan persetujuan ANDAL, RKL dan RPL, juga disertai dengan kesepakatan antara perusahaan dan masyarakat setempat.
Dugaan bahwa dua perusahaan tersebut menduduku tanah adat diungkapkan tokoh adat Dayak Modang, Benekditus. Ia mengatakan perusahaan sawit ini beroperasi di tanah adat Dayak Modang sejak 2006. Izin konsesi perkebunan kelapa sawit menerabas kawasan hutan adat Dayak Modang seluas 11 ribu hektare sesuai rekomendasi Pemerintah Kabupaten Kutai Timur.
IWANK