TEMPO.CO, Yogyakarta - Aktivis pemantau pendidikan menengarai pemberian bantuan pendidikan lewat Kartu Menuju Sejahtera (KMS) tidak tepat sasaran. Buktinya, ada orang tua siswa dan siswa penerima KMS yang kedapatan mengenakan pakaian mahal lengkap dengan perhiasan serta menenteng telepon seluler pintar.
“Kami kurang yakin bahwa warga yang bisa memenuhi kebutuhan sekundernya itu sampai kesulitan membayar biaya pendidikan,” ujar aktivis Forum Pemantau Independen (Forpi) Kota Yogyakarta, Baharuddin Kamba, Kamis, 11 Juni 2015.
Menurut Baharuddin, jika dibiarkan, pemberian bantuan pendidikan yang salah sasaran ini bakal memicu protes masyarakat. Terutama mereka yang secara ekonomi betul-betul miskin dan tak terdata karena bukan pemegang KMS. “Ujungnya, pemerintah bisa dianggap diskriminatif,” katanya.
Untuk mengantisipasi munculnya anggapan pemerintah melakukan diskriminasi, Forpi Yogyakarta pada 11-17 Juni ini membuka pos pengaduan pendataan penerimaan siswa baru pemegang KMS. Pos ini dipusatkan di kompleks Balai Kota Yogyakarta.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta Edi Heri Suasana menuturkan penentuan siswa pemegang KMS merupakan wewenang Dinas Sosial. “Kami hanya melakukan pendataan terhadap siapa pun pemegang KMS,” ujarnya.
Baca Juga:
Dalam proses penerimaan siswa baru tahun ini, Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta menyediakan kuota 25 persen khusus bagi siswa pemegang kartu KMS tingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah kejuruan. Sedangkan kuota bagi siswa sekolah menengah kejuruan 5 persen.
PRIBADI WICAKSONO