TEMPO.CO, Bandung-Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran Muradi menilai Presiden Joko Widodo sedang membutuhkan sokongan politik luar biasa dari tentara dengan memilih Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Gatot Nurmantyo menjadi calon Panglima Tentara Nasional Indonesia.
“Situasinya, presiden butuh legitimasih kuat disokong tentara. Dan itu tidak bisa didapat dari Angkatan Udara,” kata dia saat dihubungi Tempo, Rabu, 10 Juni 2015.
Menurut Muradi presiden memilih menggunakan hak pregogratifnya ketimbang mengikuti giliran matra sesuai Undang-Undang TNI. “Kalau bicara penguatan kelembagaan harusnya Angkatan Udara. Tapi faktanya Jokowi butuh sokongan politik luar biasa dari TNI dan itu hanya bisa diberikan oleh pimpinan Angkatan Darat yang secara jumlah personil besar dan dominan,” kata dia.
Menurut Muradi, risiko pilihan Jokowi bisa membuat Angkatan Udara ngambek karena sudah disalip dua kali. Panglima TNI dari Angkatan Udara baru sekali, dari Angkatan Laut dua kali dan selebihnya dari Angkatan Darat.
Muradi mengimbuhkan kendati di awal kepemimpinannya bakal muncul sentimen negatif soal pergiliran matra dalam jabatan panglima, dalam jangka panjang Jokowi lebih mudah mengkonsolidasikan internal TNI. Prasyarat konsolidasi di level militer salah satunya dipimpin komandan yang membawahi personil lebih banyak dan lebih senior.
Gatot Nurmantyo, kendati yang termuda, tapi dari segi angkatan dia lebih senior dibandingkan kepala staf yang lain. “Gatot lebih senior, dia Angkatan 82, meskipun dari segi umur lebih muda dibanding yang lain,” kata Muradi.
Menurut dia postur, doktrin, dan karakter TNI saat ini masih berbasis kontinen, sedangkan poros maritim masih menjadi jargon. “Kalau mau menguatkan poros maritim, penekananya bukan pada sumber daya manusia, tapi dari alutsista. Untuk penguatan pertahanan, Angkatan Udara dan Angkatan Laut bukan kuat manusianya, tapi alatnya,” kata dia.
Muradi berujar salah satu pekerjaan rumah Gatot adalah mengawal proses transisi menuju penguatan poros maritim dengan menata SDM, alutsista, dan doktrin TNI. “Kalau mau serius ke poros maritim, harus menata dan mengubah doktrin, postur alutsista, itu tahapannya,” kata dia.
Panglima baru juga harus tetap menjaga netralitas TNI serta memposisikan TNI tidak terlalu jauh masuk ke dalam kerja politik sipil. "TNI masuk KPK kelihatannya sekarang jadi semacam dwifungsi baru. Menjaga ketahanan pangan, misalnya, TNI dasarnya hanya stimulasi, yang mengerjakan tetap sipil,” kata Muradi.
Muradi melihat sosok Gatot tidak akan memicu resistensi dari sejumah kalangan. Ketiga kepala staf tersebut, kata dia, juga bukan figur-figur yang kontroversial. "Tidak ada problem korupsi atau pelanggaran kemanusian, realtif tidak ada masalah,” kata dia.
Presiden Joko Widodo mengajukan Gatot calon tunggal Panglima TNI yang diajukan Presiden Jokowi ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk menggantikan Jenderal Moeldoko yang akan pensiun pada 8 Juli tahun ini.
Gatot merupakan alumni Akademi Militer angkatan 1982. Perwira tinggi kelahiran Kota Tegal, Jawa Tengah, 13 Maret 1960 itu sempat menduduki sejumlah jabatan strategis. Ia pernah jadi Panglima Komando Strategis Angkatan Darat 2013-2014, Panglima Komando Daerah Militer V Brawijaya pada 2010-2011, serta Gubernur Akademi Militer pada 2009-2010.
AHMAD FIKRI