TEMPO.CO, Bandung - Seorang penyandang tremor, Cipto Dipana Marbun, 20 tahun, ingin menjadi manajer. Lewat ujian tertulis Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) yang berlangsung Selasa, 9 Juni 2015, dia berjuang agar bisa masuk ke Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung. Pilihan keduanya, Program Studi Manajemen Universitas Padjadjaran.
Saat ujian SBMPTN di ruang khusus gedung Sekolah Farmasi ITB, Cipto menyiapkan strategi khusus dalam menjawab soal kelompok sosial dan humaniora. Tak ingin gagal seperti dalam ujian SBMPTN tahun lalu, dia punya target jumlah jawaban pada dua kali sesi ujian tulis. "Berdasarkan perhitungan dan data dari pengalaman peserta yang diterima, 55 persen jawaban benar kemungkinan bisa lolos," ujarnya saat rehat ujian sesi pertama.
Pada 2014, dia memilih Program Studi Teknik Industri dan Sistem Informasi Universitas Indonesia. Sempat meraih peringkat lima besar di kelasnya, Cipto gagal lolos jalur undangan SNMPTN dan tes tulis SBMPTN. "Setelah itu, menganggur setahun. Persiapan ujian belajar sendiri di rumah," ucapnya.
Untuk mengisi lembar jawaban tes, ada pendamping yang membantunya. Dia tak bisa mengisi lingkaran jawaban dengan pensil sendiri, karena kedua tangannya selalu bergerak tanpa bisa dikendalikan. Menurut Cipto, dia menyandang tremor sejak berusia 5 tahun setelah terpeleset di rumah. Bagian otak dan tulang duduknya terbentur.
Lulusan SMA 18 Bandung pada 2014 itu datang ujian diantar ayahnya dengan sepeda motor. Dari rumah, sulung dengan tiga adik itu membawa bekal air bening dan kue bika ambon. "Kalau makan nasi, takut ngantuk," tuturnya. Dia memilih beristirahat di dalam ruang ujian.
Ketika kecil, dia bercita-cita menjadi dokter. Karena penyakitnya, sekarang dia punya keinginan menjadi manajer. Melihat kuota kursi dan peminat yang memilih tahun lalu, Cipto cukup yakin kali ini bisa tembus saringan kuliah di kampus negeri. Dia belum memikirkan untuk kuliah di kampus swasta jika gagal lolos.
ANWAR SISWADI