TEMPO.CO , Jakarta: Bulan Juni adalah bulan milik Sukarno. Presiden Indonesia pertama itu lahir di Surabaya pada 6 Juni 1901 dan tutup usia di Jakarta pada 21 Juni 1970. Cerita hidup Sukarno tertuang dalam beragam judul buku. Namun judul buku paling terkenal justru ditulis oleh jurnalis wanita Amerika Serikat, Cindy Adams.
Cindy menulis buku legendaris Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia). Ia dipercaya Sukarno menuliskan perjalanan hidupnya. Sesuatu yang zaman itu membingungkan banyak orang, karena pers Amerika kala itu dikenal ganas kepada Sukarno.
Sementara Sukarno sendiri tengah galak-galaknya mengumandangkan anti-imperialisme. Tapi justru kepada bekas pemandu sorak di Andrew Jackson High School, St Albans, Long Island, ini Sukarno seolah-olah tak menyembunyikan segala sesuatu, termasuk hal-hal personalnya. Buku itu menjadi sangat populer karena menceritakan seorang Sukarno yang penuh warna.
Cindy pertama kali bertemu dengan Sukarno pada 1961 di Istana Merdeka. Saat itu ia bekerja di NANA—North American Newspaper Alliance. Ia ikut rombongan kesenian Amerika yang dipimpin suaminya, Joey Adams, komedian yang ditunjuk John F. Kennedy mengepalai kunjungan seni keliling Asia.
Saat kembali ke negerinya, Cindy dihubungi oleh Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat. Mereka mengabarkan bahwa Presiden Indonesia mengundang Cindy datang untuk menuliskan kisah hidupnya. Sejak itu, hidup Cindy terbagi antara Jakarta dan New York.
Proses penulisan berlangsung antara 1961 dan 1964. Cindy menginap di Hotel Indonesia sebagai tamu negara. Tiap pagi ia ke Istana, melakukan wawancara seraya menikmati kopi tubruk. Buku itu terbit pada 1965, sebulan setelah peristiwa 30 September. Penerbitnya The Bobbs-Merrill Company Inc, New York.
Proses penulisan tak berjalan mulus. Cindy bertengkar dengan Sukarno menjelang penerbitan buku Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams. Sukarno mendadak berubah pikiran setelah membaca manuskrip otobiografinya.
Sukarno tak ingin buku itu ditulis dengan model penulisan kalimat "saya", yang berarti dia sendiri yang secara langsung mengisahkan riwayatnya kepada pembaca. "Saya sudah putuskan saya tak menginginkan otobiografi ini. Aku ingin sebuah biografi. Tulis ulang!" kata Sukarno.
"Itu tidak mungkin," ujar Cindy. Dia beralasan, sejak awal, mereka telah sepakat menulis otobiografi. Dia juga sudah menandatangani kontrak dengan berbagai penerbit dunia untuk sebuah buku otobiografi. "Butuh waktu enam bulan siang dan malam menulis di rumah untuk manuskrip yang kuserahkan kepada Anda," kata Cindy.
Pertengkaran terus berlanjut sampai akhirnya Cindy mengaku bahwa dia khawatir akan kehilangan muka di hadapan para penerbit. Sukarno pun melunak, bahkan atas desakan Cindy hari itu pula Sukarno menandatangani surat persetujuan penerbitan buku otobiografi tersebut.
Ada yang mengatakan Cindy masa-masa itu dimanfaatkan oleh Howard Jones, yang bagi banyak orang adalah duta besar yang dekat dengan Badan Intelijen Amerika (CIA). Kala itu terjadi krisis hubungan antara Sukarno dan Amerika. Howard Jones membutuhkan seorang Amerika yang bisa menyenangkan Sukarno dengan membuat otobiografinya. Ia juga dibutuhkan untuk melaporkan situasi terakhir Sukarno dari dalam Istana sendiri.
Dalam buku keduanya, My Friend the Dictator, Cindy secara jujur mengatakan selama di Jakarta banyak tokoh yang menyangkanya agen CIA. Sebagai penulis biografi Sukarno, dia diberi keleluasaan dan akses untuk mengorek banyak tokoh politik. Tapi, diakui Cindy, ada beberapa yang tak mau karena menganggapnya agen CIA. Sukarni dan Achmad Subardjo di antaranya.
Ketika Tempo menanyakan apakah Cindy memang benar seorang agen CIA yang disusupkan Howard Jones, dahinya agak berkerinyut. Ia seolah-olah ingat masa lalunya di sini, tatkala sebagian orang mencurigainya sebagai kaki tangan CIA. Secara tegas dan cepat dia menjawab, "Itu hal yang paling mudah untuk diucapkan, tapi saya bukan CIA."
LINDA HAIRANI | TIM TEMPO