TEMPO.CO , Surabaya: Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini mengatakan proyek pembangunan jalan bawah tanah atau "underpass" di Bundaran Satelit, yakni di Jalan Mayjen Sungkono menuju Jalan HR Muhammad Kota Surabaya akan dimulai pada tahun ini. Proyek tersebut direncanakan selesai pada 2017.
“Semoga bisa dimulai tahun ini, supaya kemacetan di Surabaya Barat bisa cepat terurai,” kata Risma saat memberikan sambutan dalam acara penandatanganan memorandum of understanding bersama beberapa pengembang yang berpartisipasi dalam pembangunan proyek tersebut, Minggu, 7 Juni 2015.
Menurut Risma, pembangunan underpass Bunderan Satelit ini seluruhnya dibiayai oleh pengembang. Karen aitu, yang memilih semua kontraktornya adalah Real Estat Indonesia (REI). “Alhamdulillah banyak sekali partisipasi dari para pengembang,” kata Risma.
Sinergi antara pemerintah kota Surabaya dengan REI dimulai dengan penandatanganan kesepakatan bersama antara Wali Kota Surabaya dengan REI Jawa Timur terkait pembangunan underpass Bundaran Satelit. Penandatanganan tersebut bertempat di Rumah Dinas Wali Kota.
Risma berharap pembangunan proyek ini mampu membantu mengurai kepadatan lalu lintas di kawasan Jalan Mayjend Soengkono. Dengan proyek tersebut, kendaraan dari arah Jalan Mayjend Soengkono ke HR Muhammad, tidak ada yang crossing, tidak ada satu simpang, dan tidak ada pertemuan sebidang.
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), kata Risma, telah memiliki rencana matang untuk merekayasa lalu lintas selama pembangunan proyek itu berlangsung. “Rekayasa lalinnya sudah siap, makanya akses dari Jalan Darmo Satelit ke Banyu Urip kami perbaiki,” kata Risma.
Ketua REI Jawa Timur, Totok Lusida mengatakan ada sekitar 20 pengembang yang ikut terlibat dalam pembangunan under pass Bundaran Satelit ini. “Desainnya dari Pemkot Surabaya, dan konstruksinya dari kami,” kata Totok.
Menurut Totok, saat ini pihaknya sedang menghitung ulang total biayanya yang akan dipakai pada proyek itu. Alasannya, penguatan dolar terhadap rupiah mampu merubah biaya yang akan dipakai proyek itu. “Sebenarnya biaya awalnya sekitar Rp 56 miliar, namun karena dolar naik tiga persen, maka kami harus menyesuaikan dulu,” kata dia.
MOHAMMAD SYARRAFAH