TEMPO.CO, Yogyakarta - Meskipun pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta awal tahun 2015 ini secara resmi memberlakukan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang penanganan gelandangan dan pengemis (gepeng), Pemerintah Kota Yogyakarta memastikan beleid itu belum bisa diterapkan.
"Perda itu masih menimbulkan pro-kontra di lapangan, terutama terkait persoalan HAM (hak asasi manusia)," ujar Kepala Bidang Rehabilitasi Penyandang Masalah Sosial Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kota Yogyakarta Octo Noor Arafat, Kamis, 4 Juni 2015.
Perda Nomor 1 Tahun 2014 itu memuat sanksi cukup berat, yakni bagi warga yang diketahui masih memberikan uang receh bagi pengemis dan gelandangan di jalan bisa terkena pidana kurungan atau denda.
Misalnya, warga yang memberikan receh bisa terancam pidana 10 hari dan denda uang Rp 1 juta. Sedangkan bagi dalang atau oknum, baik individu maupun kelompok, yang terbukti memanfaatkan atau mendatangkan pengemis dan gelandangan dapat dikenai sanksi pidana kurungan maksimal 1 tahun penjara dan denda maksimal Rp 50 juta. "Dalam beberapa diskusi dengan masyarakat, perda itu ternyata ditentang keras. Ini menjadi dilema," kata Octo.
Sejak perda itu disahkan, sejumlah penjuru jalan Kota Yogyakarta pun dipasangi berbagai papan larangan pemberian receh dan ancaman sanksi sesuai isi perda itu.
Octo menuturkan persoalan gepeng dan gelandangan di wilayah DIY, terutama Kota Yogyakarta, termasuk kategori serius. Terutama jika musim liburan, seperti Lebaran, tiba. Jumlah pengemis di sudut-sudut keramaian kota bisa meningkat berkali lipat. "Saat ini kami upayakan antisipasi dengan operasi penertiban sebelum Ramadan dan Lebaran karena titik rawan baru terus bermunculan," tuturnya.
Titik rawan munculnya gelandangan dan pengemis paling potensial di Kota Yogya antara lain Alun-alun Utara, Malioboro, Tugu, Jalan Solo, Kusumanegara, Masjid Kauman, Masjid Syuhada Kotabaru, dan beberapa ruas protokol pinggiran kota perbatasan Kabupaten Sleman dan Bantul.
Para gelandangan dan pengemis itu tak hanya berasal dari luar DIY, tapi juga kabupaten tetangga, seperti Gunungkidul dan Bantul. "Sehari mengemis saat Ramadan atau Lebaran mereka bisa mendapat Rp 400 ribu, makanya sulit dilarang," ucapnya.
PRIBADI WICAKSONO