TEMPO.CO, Pamekasan - Nenek Satriyah bergeming dalam gubuknya, atau lebih tepatnya sebuah dapur dalam bentuk bangunan tradisional di Dusun Batu Putih, Desa Larangan Dalam, Kecamatan Larangan, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur. Ajakan dan rayuan dari Arsiya, keponakannya, bolak-balik ditepisnya.
"Biarkan saya di sini. Saya tidak mau merepotkan orang lain,” katanya seperti didengar Tempo. Satu saja permintaan dari Satriyah, 95 tahun, yang kini lumpuh dan juga rabun itu: “Kalau mati, saya minta dikubur, jangan dibuang.”
Satriyah sebenarnya adalah satu di antara 15 orang bersaudara. Karena tidak berkeluarga, dia hanya tinggal sendiri. Hanya Arsiyah, keponakannya, yang rajin menjenguknya. "Saya sudah minta bibi tinggal sama saya, tapi dia tidak mau," kata perempuan 45 tahun itu.
Arsiyah pantas iba karena bibinya itu sehari-hari tinggal beralas tanah. Dinding bambu juga sudah keropos. Atap gentingnya malah sudah banyak yang hilang.
Di kelilingi ratusan tanaman pohon cabai, tak ada perabotan apa pun di dalam rumah Satriyah. Hanya sebuah ranjang dari bambu lengkap dengan kasur busa dan sebuah bantal. Di samping kanan ranjang, ada dua tungku dan setumpuk kayu bakar. Jaring laba-laba memenuhi setiap sudut ruangan dan langit kamar.
Empat tahun lalu, kata Arsiyah, bibinya itu masih bisa masak sendiri. Namun setelah itu penglihatannya mulai rabun, ditambah lagi Satriyah pernah terjatuh dalam rumahnya yang mengakibatkan kakinya lumpuh. “Biarkan saja saya di sini, ini rumah saya,” katanya lagi-lagi.
Pendiriannya itu juga tak berubah setelah penderitaannya itu ramai diberitakan di media. Gubuknya itu juga belakangan sering dikunjungi tamu, mulai dari tetangga, perangkat pemerintah desa, camat, hingga pejabat dari Jakarta. "Ada yang datang cuma foto-foto, lantas pergi lagi,” kat Arsiyah.
MUSTHOFA BISRI