TEMPO.CO, Aceh Timur - Ciri fisik pengungsi Rohingya, Myanmar, dan Bangladesh nyaris tak dapat dibedakan. Tubuh mereka sama-sama kurus kering, tinggi prianya antara 155-165 sentimeter, kulit legam, alis tebal, dan mata bulat.
Perbedaan mereka hanya bahasa. Namun, bagi orang yang tak paham bahasa Bangladesh maupun Myanmar, mendengar mereka bercakap-cakap juga tak membuatnya bisa membedakan.
Walau begitu, kedua kelompok itu tetap harus dipisah. "Pemisahan antara Bangladesh dan Myanmar dilakukan agar tidak ada benturan," kata Soeyono, Kepala Polsek Aceh Timur, di Posko Pengungsi Desa Bayeun, Aceh Timur, Kamis, 28 Mei 2015.
Memang, kata Soeyono, di posko Desa Bayeun itu belum pernah terjadi benturan antarkelompok. Berbeda dengan posko di Kuala Langsa di mana ketegangan antara pengungsi Bangladesh dan Myanmar jelas terlihat.
Walau begitu, pemisahan tetap harus dilakukan karena perlakuan pada dua kelompok itu akan berbeda. Perwakilan Duta Besar Bangladesh telah mendatangi posko itu dan berjanji akan memulangkan warganya. Sementara itu, nasib pengungsi Rohingya belum jelas.
Untuk membedakan mereka, 409 pengungsi di Desa Bayeun telah didata nama, usia, dan asalnya. Mereka terdiri atas 52 orang Bangladesh yang semuanya laki-laki dewasa dan 357 pengungsi Rohingya yang terdiri atas laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Nama dan usia mereka dituliskan dalam sebuah gelang seperti gelang rumah sakit yang harus dikenakan setiap saat.
Selain itu, ada hal unik lain yang digunakan untuk membedakan kedua kelompok itu. Tangan-tangan mereka dilingkari pita warna-warni untuk menandakan mana yang asal Bangladesh dan mana yang asal Myanmar. Pita biru berarti asal Bangladesh, sementara hijau untuk Myanmar.
Sekalipun ada pita pembeda, kebingungan sempat terjadi di posko ini. Saat petugas jaga menghitung pengungsi Bangladesh pada Kamis sore, jumlah mereka menjadi 67 orang. Irwansyah, petugas Satpol PP yang turut menghitung, curiga sebagian warga Myanmar menyamar jadi warga Bangladesh agar bisa ikut dipulangkan.
Staf UNHCR, Ardi Sofinar, memastikan antara pengungsi asal Bangladesh dan Myanmar tak akan tertukar. Selain pita, Ardi punya metode lain untuk mengidentifikasi mereka. "Kami akan mewawancarai mereka, nanti pasti ketahuan dari bahasanya," ujar Ardi.
Kalaupun ada yang bisa kedua bahasa, kata Ardi, stafnya akan memverifikasi lagi dengan mengajukan pertanyaan seputar pengetahuan geografi tentang masing-masing wilayah. "Kalau saya tanya nama desa tetangga di Myanmar, tentu orang Bangladesh tak tahu," ujar Ardi.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA