TEMPO.CO , Jakarta: Aktivis Greenpeace bersama sejumlah warga melakukan aksi kreatif berupa flash mob atau aksi seni kreatif di keramaian beberapa kota, yaitu di Jakarta, Bandung, Semarang, Jogjakarta, Padang, Pekanbaru, dan Purwokerto.
Kegiatan ini menyoroti permasalahan perubahan iklim akibat penggunaan bahan bakar fosil berlebih serta perusakan hutan (deforestasi). Aksi kreatif ini adalah bagian dari Global Day of Action, yang merupakan mobilisasi di lebih dari 30 negara di seluruh dunia untuk menyerukan perlunya aksi mengatasi perubahan iklim.
Organisasi lingkungan ini menyerukan pemerintah untuk bangun dan beraksi mengatasi bencana global ini dengan beralih ke pengembangan energi terbarukan dan memperkuat kebijakan moratorium hutan.
“Apabila Pemerintah gagal mengurangi emisi karbon dari dua sumber emisi terbesar di atas, maka bisa dipastikan Indonesia tidak dapat memenuhi komitmen penurunan emisi yang telah disampaikan pemerintah kepada dunia,” ujar Hindun Mulaika, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia dalam rilisnya, Sabtu, 30 Mei 2015.
Saat ini pemerintah bermaksud mengembangkan program energi sebesar 35.000 MW untuk Indonesia, dimana 60%nya berasal dari PLTU yang berbahan bakar batubara. Hal ini menunjukkan bahwa sampai 20 tahun ke depan Indonesia masih bergantung pada batubara sebagai sumber energi.
Padahal, energi batubara adalah salah satu sumber energi fosil yang paling kotor, salah satu penyebab perubahan iklim dengan dampak yang sangat merugikan. Sayang sekali pemerintah tidak mengembangkan potensi sumber energi terbarukan seperti panas bumi, panas matahari, dan angin. Cadangan geothermal di Indonesia mencapai 40% dari total cadangan dunia.
Di Indonesia, aksi ini serentak dilakukan dengan pesan kuat menyoroti rencana pembangunan PLTU Batang, yang diklaim sebagai PLTU terbesar se-Asia Tenggara. “Kami mendesak kepada Presiden Jokowi membatalkan rencana pembangunan PLTU Batang, yang akan merugikan ribuan nelayan dan petani karena kehilangan mata pencaharian mereka, jika proyek PLTU ini dibangun,” kata Hindun..
Selama empat tahun, warga Batang melakukan berbagai cara menolak rencana pembangunan proyek kotor ini. Selain 25 aksi yang mereka lakukan, mereka juga telah beraudiensi dengan Kementerian Perekonomian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Komnas HAM, DPR, hingga ke Jepang untuk bertemu langsung dengan investor.
Hingga saat ini warga masih mempertahankan 25,4 hektar lahan dari 226 hektar lahan yang akan dipakai membangun PLTU. Adapun sebagian besar lahan tersebut meliputi persawahan subur dan wilayah perikanan tangkap yang produktif sehingga berpotensi membahayakan mata pencaharian lebih dari puluhan ribu nelayan dan petani setempat.
“Pembangunan PLTU bertenaga batu bara ini bertentangan dengan salah satu visi Presiden Joko Widodo dalam Nawacita, yaitu kedaulatan pangan," kata Hindun. Sudah saatnya Presiden Joko Widodo memimpin revolusi energi dengan memilih sumber energi yang lebih baik aman dan lebih hijau berkelanjutan, ujarnya, bukan memilih batu bara sebagai kontributor terbesar perubahan iklim.
UWD