TEMPO.CO, Sidoarjo – Samat, 57 tahun, seorang warga korban luapan lumpur Lapindo dari Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, sudah lima tahun terakhir ini menganggur. Pekerjaan berjualan pentol alias cilok keliling, sebelum dan sesudah bencana semburan lumpur Lapindo, dia tinggalkan.
"Karena tidak laku," katanya kepada Tempo saat mengikuti istigasah memperingati sembilan tahun lumpur Lapindo di tanggul titik 25 Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, Jumat, 29 Mei 2015. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia menggunakan uang sisa ganti rugi dan menjual simpanan perhiasan.
Samat menceritakan, sebelum bencana lumpur terjadi, ia berjualan pentol keliling di sekitar desanya yang banyak berdiri perusahaan. "Harga pentol saat itu hanya Rp 25," ujarnya. Meski begitu, menurut dia, hasil dari berjualan pentol keliling itu sudah cukup untuk menghidupi tiga anaknya.
Setelah semburan terjadi, ia sempat beberapa tahun kembali berjualan pentol sebelum memutuskan berhenti karena sepi pembeli. Saat menganggur itu, sesekali ia menjadi buruh tani dan menanam sayur di pekarangan rumahnya.
Saat ini, ia bersama istri dan anak-anaknya membuat rumah di seberang Kali Porong. Tanah dan rumah dibangun dari uang ganti rugi dari PT Minarak Lapindo Jaya. Total uang ganti rugi yang seharusnya ia peroleh sebesar Rp 400 juta. Namun ia mengaku baru dibayar 80 persennya.
Karena itu, pada peringatan sembilan tahun lumpur Lapindo ini, ia meminta pemerintah menepati janji untuk segera melunasi ganti rugi tanah dan rumahnya yang kini terendam lumpur. Uang tersebut akan dia gunakan untuk modal usaha.
Pemerintah telah sepakat memberikan dana talangan kepada PT Minarak. Setelah diaudit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dana talangan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2015 berubah menjadi Rp 767 miliar dari semula Rp 781 miliar.
NUR HADI