TEMPO.CO, Surakarta - Direktorat Jenderal Pajak menemukan indikasi maraknya penggunaan faktur pajak fiktif oleh para wajib pajak. Indikasi itu ditemukan dalam rentang waktu setengah tahun terakhir. Meski demikian, Direktorat Jenderal Pajak telah berupaya melakukan pendekatan persuasif.
Direktur Intelijen dan Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak Yuli Kristiyono mengatakan telah membentuk satuan tugas penanganan faktur pajak fiktif di daerah pada akhir tahun lalu. "Termasuk di Jawa Tengah dan Yogyakarta," kata Yuli saat ditemui di Surakarta, Jumat, 29 Mei 2015.
Dalam analisisnya, satgas menemukan 290 wajib pajak yang ditengarai menggunakan faktur pajak fiktif dengan nilai nominal sekitar Rp 179 miliar.
Penggunaan faktur pajak fiktif terbesar terjadi di Jawa Tengah bagian utara dengan nilai mencapai Rp 152 miliar. Sedangkan nilai faktur fiktif di Jawa Tengah wilayah selatan mencapai Rp 22 miliar. Nilai terkecil berada di Yogyakarta, yakni sekitar Rp 5 miliar.
Modus yang paling umum dilakukan yakni memperkecil nilai transaksi. Hal ini menyebabkan pajak yang dibayarkan lebih kecil dibanding yang seharusnya.
Namun ada pula yang memanipulasi faktur pajak sehingga wajib pajak justru memperoleh restitusi atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari negara. Ulah nakal wajib pajak itu jelas membuat negara merugi. "Kami juga menelusuri kemungkinan keterlibatan pegawai internal kantor pajak dalam kasus-kasus ini," kata Yuli.
Meski demikian, Yuli mengatakan masih memberi kesempatan kepada para wajib pajak nakal itu untuk memberikan laporan pajak yang benar. "Sebab tahun ini dicanangkan sebagai tahun pembinaan," katanya. Mereka tidak akan menerapkan sanksi pidana sejauh wajib pajak nakal tadi bersedia bersikap kooperatif. "Sedangkan tahun depan akan masuk tahap tahun penindakan hukum," katanya.
Tahun depan pihaknya tidak akan memberi pengampunan bagi para wajib pajak nakal yang memanipulasi laporan. Bahkan kantor pajak berencana mengenakan pidana pencucian uang bagi para pengemplang pajak.
Selama ini, dia melanjutkan, hukuman pidana bagi wajib pajak nakal tergolong sangat ringan. "Hukuman maksimalnya hanya enam tahun," katanya. Padahal kerugian negara yang ditimbulkan cukup besar.
Pelaksana tugas Direktorat Jenderal Pajak Wilayah II Jawa Tengah, Supandi, juga menyepakati penerapan sanksi pidana pencucian uang bagi para pengemplang pajak. "Penyidik kami sudah memiliki kewenangan untuk itu," katanya. Hanya, penyidik kasus itu harus mendapat pelatihan khusus agar memiliki kemampuan melacak tindak pidana pencucian uang.
Menurut Supandi, saat ini Direktorat Jenderal Pajak sedang menangani dua kasus pengemplangan pajak dengan menerapkan pidana pencucian uang. "Kita lihat nanti bagaimana perkembangannya," katanya. Jika penanganan itu cukup maksimal, dia akan segera menerapkan di daerah.
AHMAD RAFIQ