TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Program Imparsial Al Araf meminta Presiden Joko Widodo menetapkan kualifikasi yang tinggi dalam memilih Panglima TNI pengganti Jenderal Moeldoko. "Salah satunya (kriteria), harus mendukung penegakan dan pembela hak asasi manusia," kata Al Araf di kantor Imparsial, Jakarta, Kamis, 28 Mei 2015.
Menurut Al Araf, selama ini, TNI diidentikkan sebagai pihak yang tidak pro-hak asasi manusia. Bahkan tak jarang TNI dikaitkan dengan pelaku pelanggar HAM. Karena itu, ujar Al Araf, Panglima TNI yang baru harus mampu menghapus citra buruk tersebut.
Imparsial pun meminta Presiden Jokowi memilih Panglima TNI yang mendukung reformasi tentara. Salah satunya, memiliki komitmen untuk mereformasi peradilan militer. "Calon Panglima TNI harus patuh pada otoritas sipil dan menjunjung hukum sipil," tutur Al Araf.
Jenderal Moeldoko akan pensiun pada 1 Agustus 2015. Moeldoko mulai menjabat sebagai Panglima TNI sejak 30 Agustus 2013 menggantikan Laksamana Agus Suhartono. Sebelumnya, alumnus terbaik Akademi Militer tahun 1981 itu menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Darat sejak 20 Mei 2013 hingga 30 Agustus 2013.
Moeldoko juga pernah menjabat Wakil Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional pada 2011. Pria kelahiran Kediri, Jawa Timur, ini pernah menduduki tiga posisi penting selama 2010, yaitu Panglima Divisi Infanteri 1/Konstrad, Panglima Kodam XII/Tanjungpura, dan Panglima Kodam III/Siliwangi.
Sesuai dengan aturan, tiga kepala staf angkatan TNI berhak ditunjuk sebagai Panglima TNI yang baru. Mereka adalah Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Gatot Nurmantyo, Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Ade Supandi, dan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Agus Supriatna.
INDRA WIJAYA