TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengatakan kekerasan yang terus berulang di Papua disebabkan oleh munculnya rasa ketidakadilan. Tak cukup dengan membebaskan tahanan politik untuk meredam konflik di sana.
"Itu kan ekor masalah saja, akar masalahnya ketimpangan dalam bidang politik dan sosial," kata Ketua Komnas HAM Hafidz Abbas, saat dihubungi, Rabu, 27 Mei 2015. Apa yang dirasakan dan dirumuskan di Jakarta, kata Hafidz, sering kali tak dirasakan di daerah, khususnya Papua.
Kondisi seperti ini, jika terus dibiarkan, akan semakin membuat warga Papua membenci pemerintah pusat.
Kelompok bersenjata di Papua kembali melakukan penyerangan. Mereka menembaki salah satu rumah di Kampung Usir, Distrik Mulia, Kabupaten Puncak Jaya, Papua. Akibat penyerangan itu, seorang penghuni rumah tewas dan lima lainnya mengalami luka serius akibat tertembus timah panas penyerang.
Komnas HAM, menurut Hafidz, akan menyelidiki kasus tersebut. Beberapa kasus di Papua, kata dia, sudah direkomendasikan agar dibawa ke pengadilan HAM berat. Salah satunya adalah kasus Paniai.
Namun penyelesaian pelanggaran HAM berat di Papua bukan tanpa halangan. Dalam beberapa kasus, Hafidz mengatakan berkas yang sudah diserahkan kepada Kejaksaan sering kali dikembalikan. Alasannya, berkas dianggap masih kurang memenuhi syarat.
Hafidz berharap adanya presiden baru mampu memunculkan cara baru dalam penyelesaian pelanggaran HAM. "Seperti di Nawa Cita, penyelesaiannya mulai mengarah kepada non-yudisial."
Hafidz mengatakan kasus pelanggaran HAM di Papua umumnya digolongkan menjadi dua tipe, yaitu recurrent dan kontemporer. Recurrent adalah kasus yang berulang, seperti penembakan. Adapun kasus kontemporer misalnya upaya pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
FAIZ NASHRILLAH