TEMPO.CO , Padang:Etnis Tionghoa di Kota Padang, Sumatera Barat memprotes retribusi pelayanan pemakaman yang diberlakukan Pemerintah Kota Padang melalui Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum. Mereka tak sanggup membayar, karena mahalnya biaya retribusi tersebut.
"Tak semua (etnis Tionghoa) yang sanggup bayar. Tak semuanya yang kaya. Akhirnya ada yang membongkar makamnya," ujar Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Tionghoa Indonesia Kota Padang, Valentinnus Gunawan, Rabu 27 Mei 2015.
Dalam Peraturan Daerah Retribusi Jasa Umum ditetapkan biaya pemakaman dengan ukuran makam standar, 1 meter X 2 meter atau 2 meter persegi di Lokasi A, Rp375 ribu dan Lokasi B Rp300 ribu per makam.
Setiap dua tahun, mereka dikenai sewa tanah Rp 125 ribu di Lokasi A dan Rp100 ribu di Lokasi B. Bagi makam yang luasnya lebih dari dua meter, dikenakan retribusi tambahan kelebihan tanah Rp 250 ribu per meter persegi di Lokasi A dan Rp 200 ribu di Lokasi B, setiap dua tahun.
Valentinus mengatakan, keberatan ini dirasakan mayoritas masyarakat Tionghoa yang menjadi ahli waris pemilik makam. Mereka tidak mampu membayar retribusi sewa makam yang kenaikannya hampir mencapi 600 persen.
Menurutnya, makam etnis Tionghoa yang telah turun-menurun, selalu berdampingan suami istri. Ukurannya berkisar 3 meter x 4 meter hingga 6 meter x 10 meter. Sehingga mereka harus membayar retribusi kelebihan tanah.
"Biasanya makam 3 x 4 meter dibayar Rp 400 ribu per empat tahun. Kini kami harus membayar Rp 2.625.000 per dua tahun. Makam berukuran 6 x 10 meter dari Rp 2.128.000 per empat tahun menjadi Rp 14.625.000 per dua tahun," ujar Valentinus.
Etnis Tionghoa, kata Valentinus, hanya meminta pemerintah kota Padang merevisi Perda tersebut. "Kami sudah pernah mengirim surat kepada Wali Kota Padang tahun 2012 tapi tak ditanggapi. Kemaren (25 Mei 2015), kami kembali menyurati Wali Kota Padang untuk minta direvisi," ujarnya.
Valentinus mengaku, dampak dari perda tersebut, banyak masyarakat Tionghoa di Kota Padang yang membongkar makam keluarganya karena tak sanggup membayar. Banyak juga yang beralih mengkremasi jenazah.
Anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat, yang juga Tokoh etnis Tionghoa di Padang Albert Indra Lukman mengatakan, sudah sering melakukan protes terhadap Perda tersebut. Namun belum membuahkan hasil.
Padahal, saat Perda itu diproses dan disahkan, Albert duduk sebagai anggota DPRD Kota Padang. Namun, katanya, kalah ketika voting. Menurutnya, retribusi tersebut lebih mahal dari pajak bumi dan bangunan untuk rumah. 'Ini tidak masuk akal," ujarnya.
Albert mengatakan, Perda tersebu mengacu ke ukuran standar makam umat Muslim, sebagai mayoritas agama penduduk Kota Padang. Padahal, turun menurun sesuai budaya leluhur etnis Tionghoa, makam selalu berdampingan suami istri.
Sejak diberlakukannya Perda tersebut, kata Albert banyak dampaknya. Di antaranya dari 10 etnis Tionghoa yang meninggal di Padang, 8 atau 9 terpaksa dikremasi. Sebab takut terbebani dan terancam dibongkar. "Bahkan kuburan yang sudah ada sebelum Perda banyak yang dibongkar dan jenazahnya dikremasi," ujarnya.
Pada umumnya, menurut Albert, etnis Tionghoa memilih untuk dikuburkan. Malah setiap 5 April, etnis Tionghoa melakukan perayaan Ceng Beng, dengan mengunjungi kuburan leluhur. Jika etnis Tionghoa memilih dimakamkan, ini akan menjadi devisa bagi Kota Padang. Sebab, kerabat yang dimakamkan dari Hongkong, Singapura, dan daerah-daerah lain setiap tahun mengunjungi makam leluhur mereka. "Ini bisa menjadi nilai tambah bagi pemerintah dalam melestarikan budaya Tionghoa,” ujarnya.
Wali Kota Padang Mahyeldi Ansharullah mengatakan sudah menerima surat dari etnis Tionghoa yang meminta revisi perda. Namun, perlu pembahasan dengan DPRD Padang. "Belum ada rencana revisi. Tak bisa langsung. Perda ada mekanismenya," ujarnya saat dihubungi Tempo, Rabu 27 Mei 2015.
Menurutnya, bagi yang tidak mampu membayar retribusi, disarankan mengajukan pengurangan pembayaran retribusi dengan melampirkan surat keterangan tidak mampu. "Saya sudah sampaikan ke mereka. Bagi mereka yang miskin atau kurang mampu, bisa membuat surat khusus meminta keringanan," ujarnya.
ANDRI EL FARUQI