TEMPO.CO, Tegal - Paguyuban Nelayan Kota Tegal (PNKT), Jawa Tengah, yang selama ini menolak Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang larangan penggunaan alat tangkap ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) kini berangsur melunak.
“Kalau peraturan itu memang tidak bisa diubah, paling tidak berilah kelonggaran waktu bagi kami untuk melunasi utang di bank,” kata Ketua PNKT Eko Susanto, Rabu, 27 Mei 2015.
Eko berharap Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti bersedia memberi toleransi waktu sekitar tiga tahun bagi kapal cantrang di Tegal agar tetap beroperasi. “Selain harus melunasi utang, kami juga butuh modal untuk memodifikasi kapal dengan alat tangkap baru. Biaya modifikasi per kapal butuh sekitar Rp 500 juta,” kata Eko.
Sejak Peraturan Menteri Kelautan Nomor 2 Tahun 2015 diterapkan pada Januari lalu, Eko berujar, sekitar 100 kapal dari 500 kapal cantrang di Kota Tegal tak bisa melaut. Sebab, Surat Izin Kapal Penangkapan Ikan (SIPI) kapal itu sudah habis masa berlakunya dan tak bisa diperpanjang. Adapun sekitar 400 kapal cantrang lain masih melaut karena SIPI-nya masih berlaku hingga 2015–2017.
Tapi, sekitar 400 kapal itu juga terancam mangkrak karena adanya wacana larangan melaut bagi seluruh kapal cantrang pada September 2015. Jika wacana tersebut benar-benar diberlakukan, Eko mengaku tidak bertanggung jawab jika nelayan akan berunjuk rasa besar-besaran.
Menurut Eko, melarang kapal cantrang melaut tanpa memberi toleransi waktu untuk memodifikasi kapal sama artinya membunuh nelayan. Tiap satu kapal cantrang mempekerjakan sekitar 25 anak buah kapal (ABK). “Bayangkan, sebanyak 12.500 nelayan menganggur seketika,” kata Eko.
Mendadaknya larangan bagi kapal cantrang juga akan berdampak pada kelangsungan usaha pengolahan ikan di Kota Tegal. “Mayoritas usaha pengolahan ikan di sini bahan bakunya dipasok dari kapal-kapal cantrang,” kata Ketua Koperasi Unit Desa Karya Mina Kota Tegal Hadi Santoso.
DINDA LEO LISTY