TEMPO.CO , Jakarta: Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah ketentuan Pasal 77 KUHAP tentang obyek praperadilan dianggap masih kurang lengkap. Mahkamah Agung diharapkan dapat membuat kebijakan pendamping agar putusan pengadilan tak kontroversial.
"MA bisa membuat kebijakan yang memperjelas wewenang hakim dalam memutus praperadilan," kata Direktur Advokasi Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Oce Madril saat dihubungi pada Selasa, 26 Mei 2015. Menurut dia, saat ini belum ada panduan yang jelas dan seragam untuk para hakim terkait gugatan ini.
Menurut Oce, kewenangan pengadilan adalah sebatas prosedur penetapan tersangka. Gugatan baru dilakukan apabila pemohon merasa penetapannya menyalahi prosedur yang sudah ada. Kebijakan ini dibuat untuk memastikan para penegak hukum dan kepolisian berhati-hati dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Namun, beberapa hakim yang memenangkan para penggugat, banyak yang mengeluarkan putusan kontroversial. Seperti pada persidangan bekas Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin, Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) Yuningtyas Upiek Kartikawati mengabulkan permohonannya karena pihak Komisi Pemberantasan Korupsi tak bisa menunjukkan bukti yang memperkuat sangkaan terhadap Ilham.
Demikian pula pada Selasa, 26 Mei 2015, dalam persidangan bekas Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo, hakim tunggal Haswandi menyatakan KPK tidak bisa mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri (independen) yang bukan kepolisian. Karena itu, penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan penyidik independen tidak berkekuatan hukum sehingga penetapan tersangka Hadi dianggap tidak sah.
Oce mengatakan dua putusan ini kontroversial, karena sebenarnya bukan hak pengadilan untuk meminta alat bukti ataupun menentukan kewenangan penyidik. "Harus ada panduan teknis, jadi tak ada penerjemahan sendiri-sendiri. Praperadilan kan sifatnya teknis prosedural," kata Oce.
Kebijakan ini diharapkan dapat menjadi panduan yang lebih jelas untuk para hakim yang memimpin sidang praperadilan. Dengan demikian, pemahaman mereka akan seragam, hingga tak menghasilkan putusan yang beragam, apalagi kontroversial.
URSULA FLORENE SONIA | LINDA TRIANITA