TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menyatakan, terpidana mati kasus narkoba asal Filipina Mary Jane Veloso tak berhak untuk mengajukan grasi atau pengampunan dari Presiden Joko Widodo.
Berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 2010 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi, permohonan hanya bisa diajukan satu kali.
"Aturan mainnya jelas, tak ada ketentuan bisa lebih dari satu kali," kata Abdul saat dihubungi, Minggu 24 Mei 2015.
Fickar menyatakan, pengertian soal syarat dan ketentuan grasi memang berubah jauh dari undang-undang sebelumnya. Undang-undang Nomor 5 tahun 2010 hanya menyatakan, grasi diperuntukkan bagi terpidana yang menerima vonis pidana mati, seumur hidup atau minimal dua tahun penjara. Tolak ukur grasi adalah beratnya hukuman yang diterima pidana.
Sebelumnya, menurut Abdul, ada ketentuan yang lebih ketat untuk mengajukan grasi yaitu adanya pengakuan atas kesalahan dan tak akan mengulangi. "Sekarang tak perlu mengakui kesalahan untuk bisa grasi. Cukup keberatan terhadap hukuman sudah bisa ajukan grasi," kata Abdul.
Grasi juga tak mungkin diajukan meski terpidana memiliki bukti dirinya tak bersalah. Dalam kasus Mary Jane, grasi tak bisa diajukan bahkan jika Maria Kristina Sergio terbukti sebagai pelaku perdagangan manusia di Pengadilan Filipina. Status Mary Jane sebagai korban tak bisa jadi dasar grasi kedua.
Putusan terhadap Kristina, menurut Abdul, seharusnya menjadi novum atau bukti baru bagi Mary Jane mengajukan Peninjauan Kembali yang kedua. Ketimbang grasi, pengajuan PK lebih dari satu kali lebih memiliki dasar hukum yang kuat yaitu putusan Mahkamah Konstitusi.
"Bisa saja kalau PK. Malah mungkin bisa bebas atau vonis lebih ringan. Lagi pulagrasi itu hanya satu tahun setelah inkrah," kata dia.
FRANSISCO ROSARIANS