TEMPO.CO, Surabaya - Pemerintah Indonesia bersiap turun tangan menangani masalah pengungsi Rohingya dan Bangladesh. Anggaran sebesar Rp 2,3 miliar telah dipersiapkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui Kementerian Sosial.
Meski pengungsi Rohingya ditampung, Indonesia akan tetap melobi pemerintah Myanmar untuk penanganan lebih lanjut. "Nanti tentu diplomasi ke Myanmar, ini bagaimana wargamu ada di sini," kata anggota Dewan Pertimbangan Presiden, KH Hasyim Muzadi, di gedung Pascasarjana Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Senin, 25 Mei 2015.
Menurut dia, diplomasi dengan Myanmar harus segera dilakukan. "Nanti lihat keadaan politik di Myanmar, masih naik-turun. Tapi pengungsi Rohingya tetap harus ditampung dulu," kata Hasyim.
Hasyim mengungkapkan, pemberian bantuan bagi 677 pengungsi yang kini ditampung di Lhoksukon, Aceh, itu merupakan panggilan kemanusiaan. Di dalam APBN memang terdapat pos yang disediakan untuk masalah kemanusiaan. "Terlepas dari masalahnya, orang yang menderita harus ditolong. Saya setuju diambilkan dari APBN, wong itu di Kementerian Sosial ada kok untuk masalah-masalah seperti itu."
Mantan pemimpin Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu menambahkan, masyarakat Indonesia harus bersikap bijak dalam memandang konflik antar-umat agama di Myanmar. Ia menilai konflik antara minoritas dan mayoritas akan selalu ada. "Konflik agama, minoritas muslim dengan mayoritas yang tidak muslim begitu-begitu itu, selalu ada. Tapi itu tidak usah dijadikan alasan, yang penting kemanusiaan didahulukan," katanya.
Hasyim pun mengungkapkan, para pengungsi tak perlu dipisahkan di pulau tersendiri. "Ndak usah dipisahkan di pulau sendiri, biarkan di penampungan aja. Kalau dipisahkan sendiri kok seperti bikin negara lain," ujarnya.
Pekan lalu, sebanyak 421 imigran asal Bangladesh dan 256 pengungsi Rohingya mendarat di Lhoksukon, Aceh Utara. Gelombang manusia perahu itu merupakan yang kedua yang tiba di Aceh, setelah sebelumnya hampir 600 pengungsi terdampar di sana. Etnis Rohingya terusir dari tanah mereka di Myanmar akibat diskriminasi yang mereka dapat selama berpuluh-puluh tahun dari pemerintah dan kelompok Buddha di sana.
ARTIKA RACHMI FARMITA