Harkristuti yang ikut menyusun naskah akademik RUU ini mengatakan tujuan utama Komisi Kebenaran untuk melakukan investigasi dan menyusun laporan mengenai pelanggaran HAM masa lalu pada titik waktu tertentu. Komisi Kebenaran juga bisa menyusun rekomendasi untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu serta pencegahan terjadi kembali.
"Untuk menghindari adanya perpecahan, dendam, permusuhan yang berkelanjutan di sama depan dengan berorientasi pada rasa keadilan masyarakat," ujarnya.
Dia menyadari dalam Pasal 43 UU Pengadilan HAM merumuskan pengecualian bagi kasus-kasus pelanggaran HAM Berat yang terjadi sebelum diberlakukannya UU Nomor 26 tahun 2000 harus melalui Pengadilan HAM Adhoc. Meski demikian, kata Harkristuti, Komisi Kebenaran tetap bisa menanganinya.
Ketua Komisi Nasional HAM Hafid Abbas mengatakan pihaknya sudah menyelidiki kasus pelanggaran HAM Berat. Kasus tersebut antara lain Peristiwa 1965, peristiwa Tanjung Priok 1984, peristiwa Lampung 1989, kasus orang hilang 1997-1998, kasus Trisakti 12 Mei 1998, kasus Kerusuhan Mei 13-15 Mei 1998, kasus Semanggi 1 dan 2.
Hafid tak sepakat kasus-kasus tersebut harus tetap dibawa ke Pengadilan HAM adhoc. "Untuk kasus 1965 tidak apa-apa dibawa ke Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi," kata Hafid. Dia pun berharap Presiden Joko Widodo menepati janjinya dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM tersebut.
LINDA TRIANITA