TEMPO.CO, Makassar - Sekitar 200 pengungsi Rohingya berada di Kota Makassar. Kelompok etnis minoritas dari Myanmar itu mulai tinggal di Kota Makassar pada 2011. Mereka tidak bersamaan tiba di daerah ini, melainkan bertahap. Mereka mengaku hanya sementara menetap di Indonesia lantaran berharap segera dibawa ke negara tujuan mereka.
"Kami lebih dari 200 orang di Makassar, tapi tinggalnya tersebar di beberapa tempat," kata Muhammad Thoyib, 45 tahun, salah seorang pengungsi Rohingya, yang ditemui wartawan di Wisma Budi, Jalan Harimau Nomor 7, Kelurahan Maricaya, Kecamatan Makassar, Senin, 25 Mei 2015. Di tempat itu, terdapat 36 pengungsi Rohingya. Tiga belas di antaranya adalah anak-anak, sisanya remaja dan dewasa.
Thoyib menceritakan suka-duka pelariannya dari kampung halamannya di Kampung Ali Tanzw, Kota Bonggo, Myanmar barat, pada 1988. Kala itu dia baru berusia 18 tahun. Bapak lima anak itu sempat berkelana ke sejumlah negara sebelum akhirnya tiba di Makassar pada 2011. "Paling lama tinggal di Malaysia, sekitar 18 tahun," ucapnya.
Sebelum tinggal di Malaysia, Thoyib pernah berdomisili di Bangladesh, Uni Emirat Arab, dan Thailand. Ia menetap di Negeri Jiran dalam waktu relatif lama dengan harapan bisa menjadi warga negara itu. Tapi mimpinya gagal terwujud, sehingga dia memutuskan menuju Australia. Sayangnya, upayanya gagal. Dia malah dikirim ke Indonesia, tepatnya di Makassar.
Berbeda dengan di Malaysia, menurut Thoyib, warga Rohingya dilarang bekerja di Indonesia. Kendati demikian, biaya makan dan tempat tinggal mereka di Makassar ditanggung oleh International Organization for Migration (IOM). Rinciannya, orang dewasa memperoleh Rp 1,25 juta per bulan dan anak-anak Rp 500 ribu per bulan. "Sewaktu di Malaysia, saya jualan baju," ujarnya.
Kendati memperoleh uang saku, para pengungsi Rohingya kesulitan membiayai pendidikan anak-anaknya, khususnya dalam hal akomodasi. IOM hanya menanggung biaya pendidikan pengungsi Rohingya di sekolah negeri. Thoyib mengaku, dengan penghasilan minim itu, dia kesulitan membayar biaya antar-jemput dan memberi uang jajan anaknya.
Para pengungsi Rohingya berharap, kata Thoyib, United Nations High Commissioner for Refugees segera memberikan kepastian agar mereka dibawa ke negara ketiga. Dengan begitu, pihaknya dapat memperoleh kewarganegaraan. Thoyib berulang kali menegaskan keinginannya agar kehidupan anak-anaknya lebih baik daripada dia dan jauh dari bayang-bayang pembantaian di negara asalnya.
Di Wisma Budi yang berlantai dua itu, para pengungsi Rohingya tidak tinggal sendirian. Mereka tinggal bersama sejumlah imigran dari negara lain. Di antaranya Iran, Afganistan, dan Malaysia. Kebanyakan anak-anak imigran itu tak bersekolah.
TRI YARI KURNIAWAN