TEMPO.CO, Jakarta - Nasib terpidana mati asal Filipina, Mary Jane Fiesta Veloso, bergantung pada hasil pengusutan kasus perdagangan manusia dan penyelundupan narkotik yang menjerat perempuan yang diduga merekrut Mary Jane, Maria Kristina Sergio. Maria Kristina dan kekasihnya, Julius Lacanilao, sudah ditahan kepolisian Filipina.
Jika dari pengusutan tersebut terbukti Mary Jane tidak terlibat sama sekali dalam kasus yang menjerat Maria Kristina, penyelundup 2,6 kilogram heroin ke Yogyakarta pada 2010 itu memiliki amunisi untuk menyatakan Mary Jane tidak pantas dihukum mati. (Baca: Isi Surat Pemerintah Filipina Soal Kasus Mary Jane)
Pengacara Mary Jane, Agus Salim, mengaku tengah mengkaji segala upaya hukum lanjutan yang bisa dilakukan. Targetnya, Mary Jane terbebas dari hukuman mati. Namun, menurut Agus, upaya hukum itu kemungkinan bukanlah peninjauan kembali, karena Mary Jane sudah mengajukan PK sebanyak dua kali.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Tony Spontana mengatakan tak sulit mementahkan argumen Mary Jane jika mengajukan PK lagi. "Misalkan, dia mengajukan PK ketiga kalinya, kami siap memberi kontra argumen dengan mengacu pada surat edaran Mahkamah Agung. Ini lho, kamu sudah PK dua kali," ujar Tony, Sabtu, 24 Mei 2015. (Baca pula: Filipina Salah Alamat Kirim Surat Soal Mary Jane)
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014 membatasi upaya PK untuk kasus pidana hanya satu kali. Hal itu berkaca dari banyaknya terpidana mati kasus narkotik yang mengajukan PK berkali-kali meskipun pengajuan itu tanpa novum yang jelas untuk menghindari eksekusi mati.
Tony menuturkan peluang Mary Jane lolos dari hukuman mati kemungkinan ada melalui upaya grasi. Namun hal itu pun tak mudah. Alasannya, grasi adalah keputusan final yang merupakan hak prerogatif presiden. "Itu tergantung pada Pak Jokowi, karena hal tersebut hak prerogatif beliau," ucapnya. (Simak: Peluang Hidup Terpidana Mati di Tangan Jokowi)
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi menyebutkan batas pengajuan grasi dibahas dalam Pasal 2. Pasal 2 ayat 3 UU tersebut menyatakan permohonan grasi hanya dapat diajukan satu kali, kecuali terpidana yang ditolak permohonan grasinya tidak dieksekusi dalam jangka waktu dua tahun.
Undang-undang itu juga menyebutkan terpidana yang pernah diberi grasi berupa pengurangan hukuman dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup dapat mengajukan grasi setelah lewat dua tahun. Namun beleid tentang perubahan atas UU Grasi mengatakan batasan mengajukan grasi berubah. Syarat grasi lebih dari sekali tak lagi dicantumkan dan digantikan dengan pernyataan grasi hanya boleh dari sekali. (Baca: MA Buka Peluang Peninjauan Kembali Mary Jane)
ISTMAN M.P.