TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti berjanji akan memburu dalang di balik peredaran beras plastik. Menurut Badrodin, polisi saat ini sedang mengumpulkan data dan bukti awal terkait peredaran beras plastik tersebut.
"Kami masih menunggu hasil dari beberapa laboratorium," kata Badrodin di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, Sabtu, 23 Mei 2015. "Jika ada pidana, kami akan menjerat dengan Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan."
Baca Juga:
Badrodin belum bisa memastikan apakah beras yang berbahan plastik itu berasal dari dalam negeri atau impor. Jika impor, kata Badrodin, Kepolisian merekomendasikan penghentian penjualan komoditas tersebut.
Sebelumnya, informasi dari Straits Times Online pada 19 Mei 2015 menyatakan beras plastik berasal dari Cina dan telah menyebar di beberapa negara di Asia, seperti India, Indonesia, dan Vietnam. Adapun Singapura melalui The Agri-Food & Veterinary Authority menyatakan bebas dari beras plastik tersebut.
Namun ahli kimia dari Universitas Indonesia, Asmuwahyu, mengatakan motif beredarnya beras plastik masih menjadi pertanyaan. Musababnya, bahan baku hingga biaya produksi untuk membuat beras tersebut lebih mahal daripada produksi padi pada umumnya.
Kejanggalan pertama, menurut Asmuwahyu, harga plastik olahan paling murah yakni Rp 12 ribu per kilogram. "Sedangkan rata-rata beras harganya Rp 7.500 per kilogram," ujarnya di Jakarta, Jumat, 22 Mei 2015.
Kejanggalan kedua, kata dia, mesin produksi untuk membuat plastik menyerupai beras adalah mesin canggih yang tak mungkin dimiliki oleh usaha kecil-menengah.
Kejanggalan itu diamini oleh pakar ekonomi pertanian Bustanul Arifin. "Mungkin ini ulah orang iseng," ujar Bustanul. Musababnya, masih terlalu jauh untuk mengatakan fenomena tersebut sebagai bioterorisme, melihat belum jelasnya penyebaran dan korban beras plastik tersebut.
Namun, menurut dia, fenomena ini cukup mencoreng citra pemerintah terkait dengan isu keamanan pangan. Minimnya pengawasan kualitas, ujar dia, membuktikan kinerja pemerintah yang kurang optimal dalam menyalurkan pangan.
REZA ADITYA | ANDI RUSLI