TEMPO.CO, Surabaya - Komisi Informasi Jawa Timur menyatakan 22 daerah belum transparan dalam hal anggaran dan informasi publik. Data itu disimpulkan dari banyaknya laporan pengaduan masyarakat selama setahun terakhir, yakni 161 pengaduan.
Ketua Komisi Informasi Jawa Timur Ketty Tri Setyorini mengerucutkan dari 22 daerah itu, lima di antaranya sangat tidak transparan dalam memberikan informasi ke publik. Padahal, sesuai dengan amanat Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2014 setiap warga negara berhak untuk mendapatkan informasi.
Lima daerah yang dinilai paling tidak transparan tersebut adalah Madura, Ngawi, Jember, Nganjuk, dan Kediri. Adapun daerah-daerah lain yang belum terbuka soal informasi tidak dia jelaskan lebih detail. Menurut Ketty, dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur hanya 16 yang sudah membentuk pejabat pengelola informasi dan dokumentasi (PPID).
“Khusus Kota Surabaya, memang terkait informasi publik sudah transparan. Tapi soal anggaran belum,” tutur Ketty dalam paparan Refleksi 5 Tahun Implementasi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik di Surabaya, Jumat, 22 Mei 2015.
Di Surabaya, dia menambahkan, kasus pengaduan yang paling sering diterima adalah permasalahan sengketa tanah. Menurutnya masyarakat masih kesulitan dalam mengakses pelayanan informasi tentang syarat-syarat pengurusan pertanahan di masing-masing kelurahan.
Bahkan, imbuh Ketty, masih banyak lembaga publik, baik eksekutif maupun legislatif, masih belum sadar bahwa masyarakat mempunyai hak untuk mengetahui segala informasi publik. “Terutama masalah (keterbukaan informasi) anggaran,” ucapnya.
Ketty mengapresiasi daerah yang telah menerapkan standar pelayanan publik sesuai dengan UU KIP, yaitu Kota Malang, Kota Surabaya, Kota Blitar, Kabupaten Blitar, Kabupaten Malang, dan Kabupaten Banyuwangi. Sedangkan untuk kategori instansi, Dinas Kesehatan Jawa Timur dinilai paling terbuka memberikan informasi kepada masyarakat.
Bekas konsultan PPID Jawa Timur, Djoko Tetuko, menambahkan seharusnya UU Keterbukaan Informasi Publik dan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 dikawinkan untuk mengimplementasikan transparansi publik. “Sekarang apa pengalihan anggaran subsidi bahan bakar minyak sebesar Rp 400 triliun itu benar-benar untuk pembangunan infrastruktur?” katanya memberi contoh.
Dengan cara mengawinkan dua undang-undang tersebut maka diharapkan Komisi Informasi dan pers bisa selaras dalam memberi informasi ke masyarakat. Dia memisalkan dalam isu kasus beras palsu, harusnya Komisi Informasi menjembatani berbagai narasumber agar pers dengan mudah dan akurat memberitakan persoalan tersebut.
AVIT HIDAYAT