TEMPO.CO , Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia bakal mewadahi klaster adaptasi perubahan iklim. Selama ini, klaster tersebut ada di bawah Pusat Kajian Antropologi. "Pengelolaan dampak negatif perubahan iklim memang harus lintas disiplin ilmu," kata Profesor Yunita T Winarto, Guru Besar Departemen Antropologi, FISIP UI.
Pernyataan Yunita itu disampaikan usai seminar dan pameran bertajuk 'Climate Change: Its Danger for our Production and Why it Escapes our Prediction' di Kampus UI, Depok pada Kamis, 21 Mei 2015.
Seminar dibuka Dekan FISIP UI Dr. Ari Setiabudi dan Direktur Research Center for Climate Change (RCCC) UI Dr. Jatna Supriatna. Pembicara seminar adalah Profesor Kees Stiger, mantan Ketua Organisasi Meteorologi Dunia dan pendiri International Society for Agricultural Meteorology (INSAM).
Kees Stiger yang banyak melakukan penelitian di beberapa negara Afrika dan Indonesia (Indramayu) memaparkan kajian dan skenario The International Panel on Climate Change (IPCC). Menurutnya, hal yang sangat penting untuk dibahas adalah bagaimana prediksi iklim dalam jangka waktu pendek dapat diproyeksikan?
Selain itu, bagaimana prediksi iklim dapat diformulasikan dengan mengikuti frekuensi perubahan yang terjadi sangat cepat? Kombinasi pengaruh siklus ENSO (El Niño Southern Oscillation) dan pemanasan global mungkin sekali memberikan dampak yang tidak dapat diduga sebelumnya, katanya, khususnya dalam produksi sektor pertanian dan persoalan ketahanan pangan.
"Komunitas yang rentan pada lintas dunia telah merasakan dampak dari perubahan iklim tersebut," kata Stiger. Mereka sangat merasakan pentingnya dukungan yang ditujukan untuk membangun kapasitas resiliensi pada suatu kondisi yang berubah.
Mereka juga memerlukan upaya adaptasi perubahan iklim sebagai kemampuan bertahan hidup dengan bergantung pada mata pencahariaannya masing-masing. Walhasil, bagaimana menjadikan petani tanggap terhadap perubahan iklim.
Menurut Yunita, forum diskusi lintas disiplin ini bertujuan meningkatkan pemahaman secara interdisiplin di dalam kerangka ilmu sosial (public social sciences), dan antara ilmu sosial dan ilmu alam.
Forum itu menjadi penting, katanya, untuk memperpanjang jaringan dan komitmen memantapkan kajian mengenai perubahan iklim di antara petani atau komunitas lainnya yang mengalami kerentanan dari kondisi perubahan iklim.
Yunita menilai kelemahan pendekatan pemerintah yang berbasis proyek sehingga tidak ada kelanjutan dan kurang manfaatnya di masyarakat. "Persepsi petani selama ini juga melihat aktivitas yang dilakukan lembaga non-pemerintah sebagai proyek sehingga mereka mengharapkan imbalan," kata Yunita yang meneliti pertanian sejak awal tahun 1990-an.
Penilaian senada diungkapkan Jatna Supriatna. Menurutnya kajian yang dibuat pemerintah terkait adaptasi perubahan iklim kurang melibatkan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu. "Para ahli ilmu sosial, seperti antropologi dan sosiologi tidak banyak dilibatkan," katanya. Padahal adaptasi perubahan iklim itu menyangkut manusia dan masyarakat.
Kementrian Pertanian, kata Jatna, juga tidak memiliki roadmap agar petani mampu beradaptasi pada perubahan iklim. Begitu juga dengan Kementrian Kelautan dan Perikanan terkait dengan nasib nelayan.
Menurut Jatna, dari paparan yang disampaikan Prof Kees Stiger kita bisa belajar banyak pengalaman negara-negara lain. "Saat ini kita menghadapi musuh besar berupa perubahan iklim dan harus bersama-sama mengurangi dampaknya," kata Stiger.
UNTUNG WIDYANTO