TEMPO.CO, Jakarta - Game online dituding sebagai biang kerok mati surinya seni dan budaya tradisional pencak silat khas Sunda. "Gara-gara serbuan virus online, anak-anak jadi ogah belajar pencak silat," kata Ketua Persatuan Pencak Silat Seluruh Indonesia (PPSI) Kabupaten Subang, Toha, Kamis, 21 Mei 2015.
Game online, yang mewabah hingga pelosok pedesaan melalui warung Internet, telah membuat anak-anak usia SD kehilangan jati dirinya sebagai anak desa. "Dulu, habis magrib, anak-anak di desa belajar ngaji lalu belajar silat. Sekarang mayoritas pergi ke warnet. Hanya sebagian kecil yang masih mau belajar pencak silat," Toha menegaskan.
Toha menambahkan, kepengurusan PPSI di Subang dalam beberapa tahun terakhir juga berkurang drastis. "Semula ada 27 kepengurusan di 27 kecamatan, sekarang tersisa 18 pengurus saja, menyedihkan," tutur Toda dengan nada risau.
Bupati Subang Ojang Sohandi menyatakan bahwa nasib pencak silat yang diwadahi payung PPSI harus diselamatkan secara bersama-sama. Ojang menjelaskan sejarah panjang pencak silat menjelang berakhirnya peristiwa pagar betis untuk menumpas gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia pimpinan Kartosoewirjo tidak boleh punah ditelan zaman.
Solusinya, kata Ojang, dengan menghidupkan kembali pencak silat. Kerja sama antar-instansi, seperti dengan induk organisasi pencak silat serta dinas pendidikan dan olahraga, harus digiatkan kembali.
Baca Juga:
Selain itu, kata Ojang, pencak silat Sunda ini dimasukkan ke dalam mata pelajaran muatan lokal di semua sekolah dasar. "Insya Allah, pencak silat akan kembali berjaya," ujar Ojang optimistis.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Subang Engkus Kusdinar mengatakan siap merealisasikan instruksi Bupati tersebut. "Kami pastikan pencak silat masuk muatan lokal," ucapnya.
Saat ini, menurut Kusdinar, pencak silat sebetulnya sudah diperkenalkan di sekolah-sekolah dasar, tapi baru menjadi proyek percontohan di setiap SD di setiap kecamatan.
NANANG SUTISNA