TEMPO.CO, Yogyakarta - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Yogyakarta meminta masyarakat mempersiapkan diri dengan adanya fenomena penurunan suhu udara, sehingga awal musim kemarau lebih cepat.
"Dibanding tahun lalu, penurunan suhu yang menyebabkan udara dingin. Kemarau tahun ini cenderung lebih cepat," ujar prakirawan cuaca BMKG Yogyakarta, Ferdinandus Edwin, kepada Tempo, Selasa, 19 Mei 2015.
Data yang dicatat BMKG, sejak dua pekan memasuki Mei ini, di wilayah DIY terjadi penurunan suhu udara, hingga mencapai empat angka dari suhu normal, yakni sekitar 20 derajat Celsius pada malam hingga dinihari.
Sedangkan pagi hingga siang hari, suhu udara maksimum normal 32-33 derajat Celsius. "Padahal penurunan suhu saat kemarau sampai 20 derajat itu biasanya baru terjadi bulan Juni-Juli," ujar Edwin.
Penyebab penurunan suhu lebih cepat ini karena cepat menghilangnya awan-awan penahan pantulan sinar matahari yang disebabkan tekanan udara tinggi di wilayah Australia.
Meski demikian, BMKG menilai penurunan suhu udara lebih cepat ini belum terlalu ekstrem karena masih awal kemarau. "Tergantung puncak kemaraunya nanti seperti apa. Penurunan suhu itu bisa lebih rendah dibanding suhu minimum tahun lalu," ujarnya.
Pada puncak kemarau tahun lalu yang terjadi Agustus-September, penurunan suhu maksimum di Yogya cukup ekstrem hingga mencapai 16-17 derajat Celsius.
Penurunan suhu ekstrem inilah yang biasanya cepat mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat, terutama anak-anak balita atau orang lanjut usia. "Kami juga mengimbau nelayan pantai selatan waspada dan tak terkecoh karena gelombang laut awal kemarau ini masih di kisaran 2 meter. Angin di laut tetap kencang meski tak seperti April yang menyebabkan gelombang mencapai 5 meter," ujarnya.
Kepala Rumah Sakit Jogja, Tuti Setyawati, menuturkan kasus umum yang muncul saat pancaroba yang ditandai penurunan suhu udara, yakni penyakit-penyakit musiman yang tak terlalu membahayakan.
Untuk anak-anak, biasanya penurunan suhu ini memicu alergi dan membuat kulit terasa gatal, hidung mimisan, dan paling parah flu. "Untuk orang tua biasanya rematiknya kambuh lebih cepat," ujar Tuti.
Kasus penyakit yang justru perlu diantisipasi, menurut Tuti, terkait perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) di masyarakat. "Terutama yang memicu penyakit serius seperti Leptospirosis, atau demam berdarah," ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO