TEMPO.CO, Semarang - Penganut agama Tao dari lingkungan masyarakat Tionghowa di sepanjang pesisir pantai utara Jawa Tengah terancam punah. Hal itu dibuktikan minimnya warga Tionghwa mendatangi klenteng yang selama ini menjadi tempat beribadah. “Hanya lima orang yang biasa beribadah di sini, itu pun dua di antaranya dari Semarang,” kata pengelola klenteng Po Ang Hio di Kabupaten Demak, Go Eng Lok saat ditemui Tempo, Ahad 10 Mei 2015.
Menurut Go Eng, tekanan pemerintah Orde Baru selama 32 tahun membuat pengikut agama Tao yang sebelumnya menjadi kepercayaan Tionghwa berpindah agama. “Padahal kami tak melarang mereka yang pindah agama agar tetap bersembahyang di sini,” kata Go Eng menambahkan.
Minimnya jemaah membuat klenteng Po Ang Hio selalu sepi, kondisi ini juga mempengaruhi klenteng yang tak lagi mampu memanfaatkan lembaga warisan leluhur China itu menampilkan kegiatan seperti Barong Say.
Go Eng menjelaskan, saat ini tak ada lagi aktivitas latihan tetabuhan dan tarian barong say, ia mengaku sejumlah barang dan tetabuhan milik klenteng telah tertata membisu di ruang brangkas klenteng.
Go Eng yang baru terpilih menjadi perawat klenteng mengaku sepinya aktivitas itu terjadi sejak 2014. Tapi dia kurang tahu pasti penyebabnya. “Itu kebijakan pengurus,” katanya.
Krisis jemaah juga diakui pengelola klenteng Hok Khing Bio di Juwana, Kabupaten Pati. Di klenteng itu biasa digunakan ibadah umat agama Tao dan Khong Hu Cu. Namun jamaah kepercayaan agama belum mampu meramaikan klenteng yang telah ada sejak 1820.
“Makanya setiap hari klenteng hanya dibuka jam lima pagi dan tutup jam 8 pagi, kalau banyak orang jagong paling malam jam tak lebih dari jam 11 malam,” kata Tony.
Menurut Tony, jamaah klenteng ini rata-rata justru orang luar kampung pecinan di sekitar Juwana, kadang jamaah awalnya sekedar lewat dan mampir karena kepercayaan yang sama. Hal itu menjadi alasan pengelola Klenteng tak menetapkan jadwal khusus untuk ibadah kecuali tanggal 15 bulan 1 atau Tje Cap Go di tahun imlek, saat ulang tahun klenteng.
Ketua yayasan Tjioe Tik Bio, yang mengelola klenteng Hok Khing Bio, Eddy Siswanto menyatakan sepinya klenteng kondisi itu tak lepas dari tekanan pemerintah orde baru yang memaksa para penganut agama khong hu cu menganut agama yang diakui negara. “Akhirnya ya sepi, klenteng menjadi tempat ritual budaya,” kata Eddy yang kini telah menganut agama Budha.
Untuk meramaikan klenteng yang ada di bawah pengelolaan jamaahnya, Eddy sengaja menggelar ritual budaya Tionghowa sesuai kepercayaan warga sekarang. “Kami gelar pengajian Islami juga, tapi di alun-alun pati,” katanya.
Langkah itu sebagai upaya untuk mempertahankan klenteng pusat udaya Tionghowa, Eddy tak mempersoalkan minimnya jamaah tapi ingin memperkenalkan masyarakat umum memahami budaya Tionghowa yang sama-sama mengakar di daerah.
EDI FAISOL | FARAH FUADONA