TEMPO.CO, Semarang - Penganut agama masyarakat Tionghoa, yakni agama Tao, di sepanjang pesisir pantai utara Jawa Tengah terancam punah. Hal itu dibuktikan minimnya warga Tionghoa mendatangi klenteng yang selama ini menjadi tempat beribadah.
“Hanya lima orang yang biasa beribadah di sini, itu pun dua di antaranya dari Semarang,” kata pengelola klenteng Po Ang Hio di Kabupaten Demak, Go Eng Lok.
Menurut Go Eng, tekanan pemerintah Orde Baru selama 32 tahun membuat pengikut agama Tao yang sebelumnya menjadi kepercayaan Tionghoa berpindah agama. “Padahal kami tak melarang mereka yang pindah agama agar tetap bersembahyang di sini,” ujar Go Eng menambahkan.
Minimnya jemaah membuat klenteng Po Ang Hio selalu sepi, kondisi ini juga mempengaruhi klenteng yang tak lagi mampu memanfaatkan lembaga warisan leluhur Cina itu menampilkan kegiatan seperti kesenian barongsai.
Go Eng menjelaskan, saat ini tak ada lagi aktivitas latihan tetabuhan dan tarian barongsai. Sejumlah barang dan tetabuhan milik klenteng telah tertata membisu di ruang brangkas klenteng.
Go Eng yang baru terpilih menjadi perawat klenteng mengaku sepinya aktivitas itu terjadi sejak tahun 2014, meski begitu ia kurang tahu pasti penyebabnya. “Itu kebijakan pengurus,” katanya.
Krisis jemaah agama Tao juga diakui pengelola klenteng Hok Khing Bio di Juwana, Kabupaten Pati. Di klenteng itu biasa digunakan ibadah umat agama Tao dan Khonghucu. Namun jemaah kepercayaan agama belum mampu meramaikan klenteng yang telah ada sejak 1820.
“Makanya setiap hari klenteng hanya dibuka jam lima pagi dan tutup jam 8 pagi, kalau banyak orang jagong paling malam jam tak lebih dari jam 11 malam,” ujar Tony, pengelola klenteng Hok Khing Bio di Juwana.
Menurut Tony, jemaah klenteng ini rata-rata justru orang luar kampung pecinan di sekitar Juwana, kadang para jemaah awalnya sekadar lewat dan mampir karena kepercayaan yang sama. Hal itu menjadi alasan pengelola klenteng tak menetapkan jadwal khusus untuk ibadah kecuali tanggal 15 bulan 1 atau Tje Cap Go di tahun baru Imlek, saat ulang tahun klenteng.
Ketua Yayasan Tjioe Tik Bio, yang mengelola klenteng Hok Khing Bio, Eddy Siswanto menyatakan sepinya klenteng kondisi itu tak lepas dari tekanan pemerintah Orde Baru yang memaksa para penganut Tao dan Konghucu berpindah ke agama yang diakui negara. “Akhirnya ya sepi, klenteng menjadi tempat ritual budaya,” kata Eddy yang kini telah menganut agama Buddha.
Untuk meramaikan klenteng yang ada di bawah pengelolaan jemaahnya, Eddy sengaja menggelar ritual budaya Tionghoa sesuai dengan kepercayaan warga sekarang. “Kami gelar pengajian Islami juga, tapi di Alun-alun Pati,” ujarnya.
Langkah itu sebagai upaya untuk mempertahankan klenteng pusat budaya Tionghoa. Eddy tak mempersoalkan minimnya jemaah tapi ingin memperkenalkan masyarakat umum memahami budaya Tionghoa yang sama-sama mengakar di daerah.
EDI FAISOL | FARAH FUADONA