TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Ketua Tim Kerja Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta, Paulus Yohanes Sumino, memaknai penggantian nama Sultan Hamengku Buwono X diubah menjadi Bawono. Buwono dan Bawono secara umum tak memiliki perbedaan.
"Buwono itu berarti jagat kecil yang diartikan semata Yogyakarta. Tapi, Bawono itu jagat besar, Sultan ingin berperan di seluruh Mataram dan dunia," kata Sumino, Rabu, 13 Mei 2015. Mataram adalah nama lain Keraton Yoyakarta, kerajaan terbesar di Jawa yang berdiri pada abad 17. Kerajaan Mataram pada abad itu berciri Islam, sedangkan Mataram pada abad 8 bercorak Hindu.
Sultan dalam Sabda Raja I mengubah namanya dari Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalogo Ngabdurrahman Sayyidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyokarto Hadiningrat. Kemudian diganti menjadi Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram, Senopati Ing Ngalogo, Langgenging Bawono Langgeng, Langgeng ing Toto Panotogomo. "Sultan punya visi tak hanya untuk di Yogyakarta," kata Sumino.
Mataram sendiri, menurut dia, memang tak boleh hanya diartikan Yogyakarta yang selama ini jadi wilayah kesultanan. Melalui nama "Suryaning Mataram", Sultan ditafsirkan ingin menjadikan Yogyakarta sebagai penerang dan penyemangat Mataram yang tersebar juga di Sumatera hingga Maluku. Bahkan sampai di Suriname.
"Dalam wahyunya, Sultan diminta untuk melindungi tak hanya Yogyakarta tapi juga seluruh Mataram," kata Sumino.
Keputusan pergantian nama ini memunculkan polemik. Misalnya, perubahan ini akan berbenturan dengan isi Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta. Dalam undang-undang tersebut secara eksplisit menyebutkan Gubernur Yogyakarta diperuntukkan bagi Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta. Bukan "Hamengku Bawano".
Tak hanya internal keraton, polemik meluas di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Yogyakarta. Menurut Sumino, sikap DPRD yang meminta penjelasan Sultan melewati batas dan bisa berakibat kena tulah atau kualat. "UU Keistimewaan Yogyakarta itu bukan produk peraturan daerah, tapi wewenang pemerintah pusat," kata Sumino.
FRANSISCO ROSARIANS