TEMPO.CO, Yogyakarta - Kalangan akademisi menyatakan persoalan yang dihadapi perempuan Indonesia belum rampung setelah reformasi Mei 1998. Komisioner Komisi Hak Asasi Manusia Organisasi Konferensi Islam, Siti Ruhaini Dzuhayatin, mengatakan perempuan belum sepenuhnya terlibat dalam demokrasi yang bersifat substansial dalam komunitas di tingkat lokal.
Pernyataan Siti Ruhaini muncul dalam lokakarya berjudul Demokrasi, Oligarki dan Perempuan di Universitas Atmajaya Yogyakarta, Selasa, 12 Mei 2015. Acara ini digagas organisasi non-pemerintah SATUNAMA dan The United Nations Democracy Fund.
Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta itu mengatakan rendahnya keterlibatan perempuan untuk mendapatkan akses dalam pengambilan keputusan muncul dalam musyawarah perencanaan pembangunan. Forum musrenbang cenderung bicara kesejahteraan yang dibayangkan laki-laki. Dia mencontohkan musrenbang membahas pembangunan gapura dan jalan. Padahal, ada aspek penting yang menyangkut kebutuhan perempuan, yakni pemenuhan gizi anak, pendidikan, dan sanitasi lingkungan. “Ibu-ibu cenderung diam ketika forum musrenbang berlangsung,” kata Siti.
Siti menggambarkan penguatan komunitas pasca-gempa bumi tahun 2006 di Kabupaten Bantul. Temuannya adalah perempuan tidak terlibat langsung dalam musrenbang. Di sana banyak terdapat buruh batik yang punya kebutuhan untuk memperkuat ekonomi. Ketika ditanya oleh Siti, perempuan buruh batik menginginkan adanya koperasi dalam skala kecil. Menurut Siti, penguatan ekonomi penting untuk memperkuat perempuan dalam pengambilan keputusan.
Dalam tingkat nasional, Siti menyebut ada perubahan cara pandang tentang demokrasi setelah reformasi di tingkat pemerintahan. Tapi, penerapan demokrasi belum sepenuhnya substansial atau hanya bersifat prosedural. Demokrasi yang bersifat substansial adalah masyarakat menerima manfaat secara adil. Tapi, perempuan menjadi kalangan yang belum menerimanya secara adil. “Selama ini perempuan dan keluarga dianggap sebagai koloni terakhir dalam demokrasi. Maka demokrasi tak kunjung selesai,” kata dia.
Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Amalinda Savirani mengatakan demokrasi berbasis warga Negara tumbuh di Indonesia. Kerja komunitas atau kelompok masyarakat penting untuk melawan oligarki. Demokrasi menjadi alat bagi masyarakat untuk mendapatkan akses kesejahteraan, bukan sekadar wacana.
Dia mencontohkan bagaimana kelompok perempuan miskin yang buta huruf di Jakarta Utara menjadi berdaya, memprotes pejabat pemerintahan yang tidak peduli pada kesejahteraan mereka. “Semua pihak bertanggung jawab mengadvokasi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka,” kata dia.
SHINTA MAHARANI