TEMPO.CO, Yogyakarta -Aktivis perempuan dari sejumlah organisasi non-pemerintah mengkritik pemberitaan oleh sejumlah media massa yang tidak menunjukkan empati pada perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual di Yogyakarta. Kritik ini muncul dalam acara Malam Solidaritas Jogja Ilang Roso Tribute to Our Sisters di depan Gedung Agung Yogyakarta, Ahad malam, 10 Mei 2015.
Acara itu digagas sebagai bentuk keprihatinan atas hilangnya rasa kemanusiaan dan kepedulian terhadap perempuan korban kekerasan. Pencetusnya di antaranya Jaringan Perempuan Yogyakarta, One Billion Rising Jogja, dan Perempuan Mahardika. Aktivis Jaringan Perempuan Yogyakarta, Ika Ayu, mengatakan aksi keprihatinan itu muncul setelah dua perempuan muda meninggal dengan dugaan mengalami kekerasan seksual. Rasa kemanusiaan dan kepedulian sebagai sesama manusia semakin memudar. Padahal, warga Yogyakarta selama ini dikenal guyub.
Selain itu, aktivis juga mengkritik media massa yang tidak sensitif terhadap korban kekerasan seksual. Pemberitaan yang bombastis menurut para aktivis menambah pedih bagi keluarga korban. Pihak keluarga merasa terpukul dengan banyaknya pemberitaan yang menyudutkan dan menggiring opini publik atas kejadian itu. “Mengungkap detail identitas korban bukan wujud kecermatan. Semestinya jurnalis menyajikan berita dengan perspektif korban,” kata Ika.
Alissa Wahid, putri pertama Presiden Indonesia keempat, Abdurrahaman Wahid, juga berorasi dalam acara itu. Ia menyatakan kritik yang sama terhadap media massa. Menurut dia, pemberitaan lewat media massa yang tidak sensitif terhadap korban. Sejumlah media massa menyebut identitas korban secara gamblang. "Perempuan direndahkan dan dihakimi tanpa rasa. Bagaimana dengan pelakunya?," kata Alissa.
Aktivis perempuan dari Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan, Budi Wahyuni menyatakan ada persoalan minimnya akses kesehatan reproduksi terhadap perempuan. Ia prihatin dengan kejadian yang menimpa dua perempuan yang meninggal karena diduga mengalami kekerasan seksual. Budi menyayangkan Yogyakarta yang punya predikat kota pendidikan tak mampu mengatasi persoalan kekerasan terhadap perempuan. “Itu bentuk kejahatan terhadap hak asasi manusia,” kata dia.
Malam solodaritas itu mengajak warga Yogyakarta merefleksikan berbagai kejadian kekerasan terhadap perempuan belakangan ini. Peserta aksi solidaritas datang dari berbagai kalangan, di antaranya aktivis, pegiat kemanusiaan, mahasiswa, dan masyarakat. Mereka ingin menggugah empati semua kalangan untuk peduli pada saudara, tetangga, dan keluarga yang mengalami serangkaian kekerasan.
Acara yang berlangsung setidaknya tiga jam lebih itu diisi dengan sejumlah pentas seni bertema anti-kekerasan. Di antaranya adalah penampilan musik dari Dendang Kampungan, Sisir Tanah, dan Yab Sarpote. Selain itu, Rratusan peserta aksi menyalakan lilin sebagai bentuk keprihatinan dan berdoa bersama di Titik Nol. Mereka berdiri secara melingkar sembari membawa lilin.
SHINTA MAHARANI