TEMPO.CO, Yogyakarta - Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta menyatakan tetap menggunakan penyebutan nama Gubernur Sultan Hamengku Buwono X dalam urusan pemerintahan. “Selama belum ada pergantian resmi secara hukum, kami tetap pakai nama itu,” kata Wakil Ketua DPRD DIY Arif Noor Hartanto pada wartawan, Senin, 11 Mei 2015.
Raja Keraton Yogyakarta sekaligus Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X mengganti kata “Buwono” pada namanya menjadi “Bawono” lewat Sabda Raja, dua pekan lalu. Selain mengubah namanya, ia juga menghilangkan kata khalifatullah dalam gelarnya. Beberapa hari setelah Sabda Raja, Sultan akan mengirimkan surat berisi penjelasan pada Kementerian Dalam Negeri dan ditembuskan ke DPRD DIY.
Tapi, menurut Arif, besar kemungkinan Sultan belum berkirim surat ke Kementerian. “Karena sampai sekarang, kami juga belum menerima surat tembusan itu,” kata Arif. Menurut dia, sampai saat ini belum bisa menyikapi lebih jauh tentang penggantian nama dan penghilangan gelar raja di kesultanan Yogyakarta. “Kalau surat itu sudah kami terima, DPRD dan pemerintah baru akan bersama-sama membahasnya.”
Arif mengatakan beberapa alasan untuk tetap menggunakan kata Buwono dalam penyebutan nama gubernur DIY. Salah satunya, Undang-Undang Keistimewaan DIY menyatakan gubernur adalah Sultan Hamengku Buwono. Surat pelantikan Sultan sebagai gubernur DIY pada 20 Oktober 2012 juga menyebutkan nama Sultan Hamengku Buwono. Bukan Bawono. “Ini legal formalnya,” katanya.
Sebelumnya, pengajar tata negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Ni'matul Huda, mengatakan tanpa merevisi Undang-Undang Keistimewaan, Sultan tak bisa begitu saja menjadi gubernur DIY. “Subyek berbeda,” katanya.
Menurut dia, pada dasarnya Sabda Raja itu adalah urusan internal Keraton Yogyakarta. Persoalan akan muncul jika berkaitan dengan urusan pemerintahan. “Jadi selama nama yang disandangnya berbeda dengan yang termaktub pada undang-undang, siapa pun sultannya tak bisa begitu saja menjadi gubernur DIY,” ujar Ni’matul.
ANANG ZAKARIA