TEMPO.CO , Yogyakarta: Sejarahwan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, berpendapat Sultan Hamengku Bawono X tidak mungkin membatalkan isi Sabda Raja I dan Sabda Raja II.
Menurut Margana, dasar Sultan mengeluarkan Sabda Raja memiliki legitimasi terkuat dalam tradisi politik Kraton Jawa, yakni wahyu Tuhan lewat bisikan leluhur. "Setiap keputusan besar raja berdasarkan pada wahyu, sulit dibantah karena logikanya berbeda dengan politik modern," kata Margana pada Minggu, 10 Mei 2015.
Pernyataan Sultan di Sabda Raja I dan Sabda Raja II juga tidak bisa ditarik lagi. Sebab, menurut Margana, apabila ditarik kembali bisa mengingkari prinsip Sabda Pandita Ratu. "Kalau ditarik berarti Sultan melanggar perintah leluhurnya sendiri," kata dia.
Karena itu, Margana melanjutkan, polemik mengenai isi Sabda Raja I dan Sabda Raja II di internal Kraton Yogyakarta bergantung pada penerimaan sebagian adik-adik Sultan terhadap penjelasan dari sabda itu. Polemik berlanjut ketika sebagian adik-adik Sultan tetap menolak Sabda Raja meskipun dasarnya merupakan sumber legitimasi terkuat di politik tradisional Jawa. "Semoga saja Kraton Yogyakarta kembali damai," kata dia.
Salah satu isi Sabda Raja I yang selama ini dipermasalahkan oleh sebagian adik-adik Sultan adalah soal penggantian gelar Raja Kraton Yogyakarta. Gelar itu ialah Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senapati Ing Ngalaga Langgeng Ing Bawono Langgeng, Langgeng Ing Toto Panoto Gomo.
Sabda Raja I menghapus gelar lama Sultan yang selama ini tercatat dalam Undang-Undang Keistimewaan DIY. Nama gelar itu ialah Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat.
Adapun Sabda Raja II berisi tentang pemberian gelar baru kepada putri pertama Sultan Gusti Kanjeng Ratu Pembayun. Pembayun menerima gelar GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng Ing Mataram. Karena menerima gelar itu, Pembayun diperintahkan untuk duduk di atas Watu Gilang atau berarti dia dipilih sebagai calon pengganti Sultan.
Tapi, menurut Margana, status Pembayun sebagai Putri Mahkota belum pasti menjadikannya Raja Kraton Yogyakarta. Alasannya, menurut Margana, tradisi suksesi Kraton Jawa, Raja harus mendapatkan wahyu keprabon atau perintah leluhur agar menjadi pemimpin kerajaan. "Dia juga harus menerima wahyu dulu untuk jadi ratu," ujar Margana.
Margana mencatat di masa Sultan Hamengku Buwono VII pernah ada empat kali penunjukan putra mahkota. Sebabnya, tiga putra mahkota terus meninggal mendadak. Satu orang sakit-sakitan dan dua lainnya diduga diracun. "Dulu zaman kolonial, polemik suksesi lebih sengit karena kekuatan politik eksternal ingin mengatur kraton," kata dia.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM